Pro-Kontra Co-Payment Asuransi Kesehatan: Dampak dan Kebijakan yang Segera Berlaku

Shopee Flash Sale

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan DPR telah menyepakati penerapan skema co-payment atau risk sharing dalam asuransi kesehatan yang segera berlaku. Kebijakan ini mengatur bahwa peserta asuransi wajib membayar sebagian kecil dari total klaim, dengan tujuan mengendalikan biaya serta menekan moral hazard dalam klaim asuransi.

Sebelumnya, OJK menetapkan pembayaran minimal 10% dari klaim, namun dalam revisi draf Peraturan OJK (POJK) pada September 2025, besaran itu diturunkan menjadi 5%. Meskipun demikian, aturan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan pemangku kepentingan terkait dampaknya pada konsumen dan industri asuransi.

Penolakan dari DPR dan Konsumen

Banyak pihak yang mengkritik kebijakan co-payment ini. Anggota Komisi XI DPR Fraksi NasDem, Thoriq Majiddanor, menilai kebijakan ini berpotensi membebani masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti masyarakat berpenghasilan rendah dan lansia. Ia menyebutkan bahwa beban tambahan kepada nasabah tidak diimbangi dengan perbaikan internal di industri asuransi, serta ketidakseimbangan komisi agen terhadap premi yang dibayar.

Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) juga menolak skema ini karena dianggap mengurangi hak konsumen. Ketua FKBI, Tulus Abadi, menyatakan bahwa industri asuransi sering melakukan penolakan klaim yang tidak adil dan skema co-payment tidak menyelesaikan masalah tersebut. Ia menganggap skema ini justru lebih menguntungkan perusahaan asuransi dibanding peserta.

Seorang analis dari MNC Sekuritas, Muhamad Rudy, memperingatkan bahwa co-payment dapat menimbulkan sentimen negatif di kalangan rumah sakit. Ia memperkirakan kunjungan pasien akan menurun karena biaya yang harus dibayar pasien meningkat. Pasien menengah ke atas mungkin lebih memilih layanan medis di luar negeri demi mendapatkan layanan yang dianggap lebih hemat.

Alasan Mendukung Skema Co-Payment

Di sisi lain, ada juga pendapat yang mendukung implementasi co-payment. Rudy juga melihat manfaat dari regulasi ini, terutama dalam meningkatkan arus kas operasional rumah sakit. Pembayaran langsung dari pasien diharapkan dapat memberikan kestabilan finansial bagi fasilitas kesehatan serta meningkatkan kesadaran nasabah terhadap layanan asuransi.

Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA), Abitani Taim, mengungkapkan bahwa co-payment dapat mengurangi moral hazard atau perilaku tidak bertanggung jawab dari peserta asuransi. Kebijakan ini juga dikatakan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan.

Direktur Legal & Compliance Allianz Life Indonesia, Hasinah Jusuf, menyatakan klaim asuransi akan lebih terkendali dan premi dapat semakin terjangkau. Ia memaparkan bahwa besaran potongan premi bisa berbeda-beda, antara 3% hingga 10%, bergantung pada produk asuransi yang dipilih.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Togar Pasaribu, menuturkan bahwa co-payment menjadi instrumen penting untuk menjaga keberlanjutan bisnis asuransi kesehatan. Ia menekankan pentingnya edukasi kepada nasabah agar memahami tujuan utama skema ini, yaitu melindungi perlindungan asuransi di tengah kenaikan biaya kesehatan.

Dampak dan Harapan ke Depan

Dengan keikutsertaan peserta dalam membayar sebagian klaim, diharapkan ada insentif untuk menghindari prosedur medis yang tidak perlu, khususnya pada layanan rawat jalan. Skema ini juga mendorong inovasi produk asuransi dengan penyesuaian polis agar lebih sesuai kebutuhan peserta, baik yang menerapkan co-payment maupun tanpa skema tersebut.

Saat ini, OJK masih dalam proses harmonisasi aturan dengan Kementerian Hukum, menandakan regulasi ini belum final dan terus diperbaiki. Penerapan co-payment diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk transparansi dan keberlanjutan ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia.

Baca selengkapnya di: finansial.bisnis.com

Berita Terkait

Back to top button