Inflasi medis diperkirakan tetap menjadi tantangan utama bagi industri asuransi kesehatan di Indonesia pada tahun 2026. Tekanan ini muncul akibat kenaikan biaya layanan medis yang tinggi, yang berdampak pada kenaikan premi dan pengelolaan klaim asuransi kesehatan.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), inflasi medis di Indonesia pada tahun 2025 mencapai di atas 13%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi medis global yang menunjukkan tren lebih stabil. Pengamat asuransi, Wahju Rohmanti, menyebutkan bahwa inflasi medis pada 2026 diprediksi masih cukup tinggi dan akan menjadi hambatan bagi pertumbuhan asuransi kesehatan.
Produk Asuransi Kesehatan yang Belum Optimal
Sebagian besar produk asuransi kesehatan saat ini masih berbasis rider, yaitu tambahan dari produk asuransi utama. Hal ini membatasi pengembangan produk asuransi kesehatan yang murni dan mandiri. Menurut Wahju Rohmanti, hal tersebut menyebabkan potensi pasar asuransi kesehatan belum dapat dimaksimalkan secara optimal.
Untuk mengatasi kondisi ini, OJK berencana menerbitkan regulasi baru yang fokus pada penguatan ekosistem asuransi kesehatan. Regulasi ini diharapkan dapat memacu perusahaan asuransi swasta untuk mengeluarkan lebih banyak produk asuransi kesehatan murni. Produk yang berdiri sendiri ini diharapkan dapat memperluas pilihan bagi konsumen dan mendorong persaingan sehat di industri.
POJK Baru sebagai Solusi Tekanan Inflasi Medis
OJK sedang menyiapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) tentang Penguatan Ekosistem Asuransi Kesehatan yang ditargetkan berlaku mulai 1 Januari 2026. POJK ini bertujuan mengatasi tekanan inflasi medis yang selama ini menjadi kendala bagi pengembangan bisnis asuransi kesehatan berkelanjutan di Tanah Air.
Salah satu poin penting dalam POJK adalah penerapan skema risk sharing dalam pengajuan klaim kesehatan. Skema ini merupakan pengembangan dari konsep co-payment yang sebelumnya diatur dalam Surat Edaran OJK No. 7/2025. Namun, implementasi co-payment yang mewajibkan peserta menanggung minimal 10% biaya klaim sempat ditangguhkan karena kontroversi.
Dalam POJK terbaru, besaran minimal pembayaran klaim disesuaikan menjadi 5% dan istilah co-payment diganti menjadi risk sharing. Skema ini dirancang tidak untuk membebani pemegang polis, melainkan agar penggunaan layanan kesehatan dapat berjalan secara tepat dan efisien.
Tekanan dari Overutilization dan Medical Inflation
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menjelaskan bahwa ekosistem asuransi kesehatan menghadapi tekanan besar dari fenomena overutilization atau pemanfaatan layanan kesehatan yang berlebihan. Kondisi ini diperparah oleh tren inflasi medis yang terus meningkat dan kenaikan premi asuransi yang signifikan.
Mahendra menegaskan bahwa skema risk sharing akan membantu menyeimbangkan ekosistem asuransi kesehatan sehingga bisa berjalan stabil dan berkelanjutan. Dengan adanya pembagian risiko yang adil, diharapkan konsumen dapat menggunakan layanan kesehatan secara lebih sadar dan terkendali.
Harapan untuk Industri Asuransi Kesehatan
Dengan hadirnya POJK baru, ada harapan bahwa industri asuransi kesehatan dapat mengurangi tekanan inflasi medis secara bertahap. Selain itu, produk asuransi kesehatan murni yang lebih variatif dan mandiri diharapkan mampu menarik lebih banyak konsumen.
Regulasi ini tidak hanya memberikan solusi jangka pendek, tetapi juga menjadi pondasi bagi penguatan ekosistem asuransi kesehatan Indonesia. Implementasi skema risk sharing dapat membantu menjamin keberlangsungan layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas.
Industri asuransi kesehatan di Indonesia kini berada pada titik kritis yang membutuhkan inovasi kebijakan dan adaptasi produk. POJK yang akan diberlakukan pada 2026 menjadi kunci penting untuk menghadapi dinamika inflasi medis sekaligus mendorong pertumbuhan pasar asuransi yang sehat dan berkelanjutan.
Baca selengkapnya di: finansial.bisnis.com





