Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, mendesak pemerintah untuk segera merumuskan regulasi khusus terkait aktivitas thrifting atau penjualan pakaian bekas impor. Hal ini dianggap penting untuk melindungi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari dampak negatif maraknya produk impor yang masuk ke pasar domestik.
Dalam kunjungan kerja di PT Panarub Industry, Kota Tangerang, Banten, Novita mengamati tantangan serius yang dihadapi industri dalam negeri akibat banjir barang impor. Ia menegaskan bahwa regulasi yang diusulkan harus mampu membedakan thrifting yang legal dan ilegal. Thrifting ilegal, yang didominasi barang bekas impor tidak terkontrol, harus dibatasi agar tidak merugikan pelaku UMKM dan industri lokal.
Novita mengungkapkan tujuan utama dari regulasi ini adalah untuk menjaga kelangsungan industri nasional serta mempromosikan produk lokal dalam negeri. Ia mendorong agar aktivitas thrifting legal diarahkan untuk memperkuat gerakan “Bangga Buatan Indonesia,” sehingga konsumen lebih memilih produk lokal ketimbang barang bekas dari luar negeri.
Menurut Novita, pemerintah perlu menyusun kajian komprehensif dan kebijakan yang seimbang. Hal ini penting agar tidak terjadi ketimpangan perlindungan antara industri besar dan peluang UMKM yang berbasis bisnis thrifting. Ia menegaskan bahwa perlindungan UMKM menjadi prioritas utama dalam menghadapi tren thrifting yang semakin marak.
Selain itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan pihak Bea Cukai telah melakukan penindakan besar-besaran terhadap impor pakaian dan tas bekas (balpres). Selama periode 2024-2025, Bea Cukai menahan 17.200 bal yang setara dengan 1.720 ton atau sekitar 8,6 juta lembar pakaian. Langkah ini diambil untuk mengendalikan arus barang impor yang merugikan pelaku usaha dalam negeri.
Purbaya mengungkapkan bahwa alih-alih memusnahkan barang-barang impor tersebut, pemerintah mengusulkan metode pengolahan ulang berupa pencacahan untuk dijadikan bahan baku industri. Usulan ini dilakukan atas arahan Presiden RI dan bekerja sama dengan Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI).
Pengolahan ulang balpres tersebut memiliki potensi untuk menghasilkan bahan baku seperti benang yang kemudian bisa disalurkan kembali kepada pelaku UMKM dengan biaya lebih murah. Menteri Keuangan menyatakan bahwa Menteri UMKM telah memberikan persetujuan terhadap skema distribusi bahan baku hasil pencacahan ini melalui kementeriannya untuk mendukung keberlangsungan usaha kecil dan menengah.
Berikut beberapa poin penting dalam usulan regulasi dan penanganan thrifting untuk perlindungan UMKM:
1. Regulasi harus mampu membedakan aktivitas thrifting legal dan ilegal.
2. Pembatasan ketat pada pemasukan barang bekas impor yang tidak diawasi.
3. Penguatan kampanye produk lokal melalui thrifting legal.
4. Penindakan terhadap impor balpres oleh Bea Cukai secara masif.
5. Pemanfaatan balpres melalui pencacahan ulang menjadi bahan baku industri.
6. Distribusi bahan baku hasil olahan kepada UMKM secara terjangkau.
7. Keterlibatan lintas kementerian dan asosiasi dalam pelaksanaan kebijakan.
Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dan DPR dalam menjaga ekosistem usaha nasional agar UMKM tidak dirugikan oleh praktik impor pakaian bekas yang tidak terkendali. Regulasi komprehensif diharapkan menjadi solusi efektif untuk menciptakan keseimbangan antara perkembangan bisnis thrifting dan penguatan industri lokal di Indonesia. Pemerintah terus melakukan koordinasi intensif agar kebijakan ini dapat berjalan secara efektif demi keberlangsungan sektor UMKM di tengah dinamika pasar pakaian bekas yang terus berkembang.
Baca selengkapnya di: mediaindonesia.com





