Di tengah bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh serta beberapa wilayah di Sumatra, layanan jaringan Telkomsel masih belum sepenuhnya pulih. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa kendala berat yang dihadapi dalam proses pemulihan jaringan di wilayah terdampak.
Telkomsel melaporkan lebih dari 2.700 base transceiver station (BTS) dan lebih dari 1.700 site mengalami gangguan signifikan. Kerusakan ini terutama terjadi akibat pemadaman listrik massal, terputusnya akses jalan, dan gangguan pasokan bahan bakar untuk genset yang sangat berperan dalam menghidupkan BTS.
Kerusakan Infrastruktur yang Meluas
Di provinsi Aceh, skala kerusakan paling besar ditemukan dengan lebih dari 1.430 site terganggu dan 2.400 BTS lumpuh. Selain itu, terdapat 15 sentral telepon otomatis (STO) yang tidak beroperasi. Kerusakan ini disebabkan oleh pemadaman listrik menyeluruh, robohnya menara Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), serta akses jalan yang terputus total di banyak desa terpencil.
Sumatera Utara mengalami gangguan signifikan di 1.100 site dengan 1.900 BTS mati dan 10 STO terganggu. Kerusakan parah di daerah ini terjadi akibat putusnya kabel fiber optik di jalur strategis antara Sibolga dan Barus, yang membuat BTS tidak dapat terhubung ke jaringan inti meskipun menara tersebut masih hidup.
Sumatera Barat juga terdampak meski dalam skala lebih kecil, dengan 190 site terganggu, 360 BTS mati, dan satu STO lumpuh. Meski jumlah ini lebih sedikit, gangguan di jalur backbone masih mengganggu layanan di beberapa wilayah seperti Agam dan Pasaman Barat.
Hambatan Utama dalam Pemulihan
Menurut Nizar Fuadi, Vice President Network Strategic Collaboration and Settlement Telkomsel, kendala terbesar dalam menghidupkan kembali BTS bukan hanya kerusakan perangkat keras, melainkan ketiadaan pasokan listrik yang stabil. PLN belum dapat memulihkan listrik di banyak daerah karena infrastruktur kelistrikan juga rusak parah akibat bencana.
Sebagai solusi, Telkomsel menggunakan genset yang bergantung pada bahan bakar solar. Namun distribusi solar sangat sulit karena akses jalan terputus dan kondisi banjir yang membatasi mobilitas logistik. Tim Telkomsel harus bekerja ekstra untuk memastikan pasokan solar siap saat akses menuju lokasi berhasil dibuka kembali.
Strategi Nonkonvensional dan Kolaborasi Multisektor
Karena kondisi jalan darat terputus, Telkomsel menggunakan sejumlah metode darurat. Tim teknis menggunakan perahu karet untuk menjangkau desa-desa terpencil. Perangkat komunikasi satelit juga dioperasikan untuk mendukung sambungan sementara sisi layanan telekomunikasi.
Selain itu, Telkomsel berkoordinasi dengan berbagai pihak seperti PLN, Basarnas, TNI, dan pemerintah daerah. Kolaborasi ini bertujuan memastikan kelancaran distribusi logistik dan keamanan tim teknis di lapangan, yang merupakan kunci keberhasilan pemulihan jaringan di daerah rawan bencana.
Bantuan Kemanusiaan dan Peran Vital Jaringan Telekomunikasi
Selain memperbaiki infrastruktur, Telkomsel juga menyalurkan bantuan langsung kepada korban di sejumlah wilayah. Bantuan berupa sembako dan air bersih diberikan kepada ratusan keluarga di Aceh Singkil, Pidie Jaya, serta beberapa titik di Sumut dan Sumbar. Bantuan disalurkan melalui posko tanggap darurat agar cepat dan tepat sasaran.
Jaringan telekomunikasi sangat vital dalam situasi darurat karena menjadi sarana utama komunikasi bagi korban dan tim penyelamat. Selain fungsi komunikasi, jaringan juga penting untuk koordinasi evakuasi, distribusi bantuan, penyampaian informasi darurat, dan akses layanan keuangan digital.
Respons Telkomsel sebagai Bagian dari Upaya Pemulihan Bencana
Pemulihan jaringan ini lebih dari sekedar mengaktifkan kembali BTS. Telkomsel menghadapi perlombaan melawan waktu dan kondisi alam yang ekstrem untuk mengembalikan konektivitas yang merupakan "nyawa digital" masyarakat terdampak. Upaya ini menunjukkan bahwa meski rentan terhadap bencana, infrastruktur telekomunikasi bisa bangkit kembali dengan dukungan teknologi, kolaborasi organisasional, dan sistem darurat yang terintegrasi.
Masyarakat diimbau tetap waspada dan memprioritaskan keselamatan sambil memanfaatkan saluran komunikasi darurat yang tersedia. Ketersediaan sinyal bukan hanya soal koneksi, tapi juga simbol harapan dan akses terhadap bantuan pada saat kritis.
