PBB Kembali Mendesak Gencatan Senjata di Sudan Atas Dampak Berat Perang Terhadap Warga Sipil

PBB kembali mendesak gencatan senjata segera di Sudan seiring kekerasan yang kian meningkat di wilayah Darfur dan Kordofan. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyoroti penderitaan luar biasa yang dialami warga sipil akibat konflik berdarah ini.

Perang saudara antara Tentara Sudan dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) telah menyebabkan 9,6 juta orang mengungsi di dalam negeri dan 4,3 juta lainnya melarikan diri ke negara tetangga. Hingga kini lebih dari 30 juta warga Sudan sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan, menurut data PBB terbaru.

Perkembangan Konflik dan Dampak Terhadap Wilayah

Dalam beberapa pekan terakhir, pertempuran bergeser ke wilayah Kordofan tengah, di mana RSF mengambil alih ladang minyak strategis Heglig pada awal Desember. Kejadian ini memicu pasukan Sudan Selatan masuk ke wilayah Sudan guna melindungi instalasi minyak. Hal ini menunjukkan konflik tidak lagi terbatas dalam negeri, namun mulai berkembang menjadi persoalan regional yang kompleks.

RSF juga meningkatkan serangan untuk merebut kendali penuh atas Darfur Utara, menyerang kota-kota di wilayah Dar Zaghawa dekat perbatasan dengan Chad sejak akhir Desember. Serangan ini sangat mengancam jalur terakhir pelarian warga sipil ke Chad yang kini semakin tertutup.

Kekerasan dan Krisis Kemanusiaan yang Makin Dalam

Jaringan Dokter Sudan mencatat lebih dari 200 orang, termasuk anak-anak dan perempuan, tewas akibat pembunuhan etnis oleh RSF di Ambaro, Sarba, dan Abu Qamra. Serangan juga menyebar ke wilayah perbatasan ketika serangan drone menewaskan dua tentara Chad di kota Tine. Drone tersebut diperkirakan diluncurkan dari Sudan, meski belum jelas pihak mana yang bertanggung jawab.

Chad menanggapi serangan tersebut dengan meningkatkan kesiagaan angkatan udaranya dan memperingatkan akan melakukan pembalasan jika serangan ini disengaja. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana konflik Sudan mulai berdampak pada keamanan negara tetangga.

Upaya PBB dan Penolakan dari Pihak RSF

Meskipun konflik makin memburuk, PBB berhasil melakukan misi penilaian pertama ke el-Fasher yang sudah jatuh ke tangan RSF. Koordinator Kemanusiaan PBB, Denise Brown, melaporkan bahwa setelah berbulan-bulan pertempuran dan pengepungan, ratusan ribu warga terpaksa meninggalkan kota tersebut.

Sebuah laporan dari Yale University mengungkap adanya pembunuhan massal sistematis oleh RSF di el-Fasher, didukung bukti citra satelit yang menunjukkan pembakaran dan penguburan mayat secara besar-besaran. Pernyataan dari pejabat Amerika Serikat Marco Rubio menegaskan kekejaman perang yang disebut "mengerikan" ini dan menyoroti bahwa pelaku kekerasan akan segera diketahui dunia.

Tawaran Perdamaian dan Hambatan di Lapangan

Perdana Menteri Sudan, Kamil Idris, mengajukan rencana damai yang mencakup gencatan senjata yang diawasi PBB dan penarikan penuh RSF dari sekitar 40 persen wilayah yang mereka kuasai. Namun, kelompok RSF menolak rencana tersebut dan menyebutnya "lebih seperti fantasi daripada realitas politik".

Idris menegaskan pemerintah menolak kehadiran pasukan penjaga perdamaian internasional karena trauma masa lalu dengan mereka. Pernyataan ini menandai batas keras dalam negosiasi yang semakin sulit mencapai titik temu.


Situasi di Sudan tetap sangat kritis dengan eskalasi kekerasan yang berdampak luas pada jutaan warga sipil. PBB terus mengupayakan jalur diplomasi untuk menghentikan konflik yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Namun, penolakan dari kelompok bersenjata dan perluasan dimensi regional perang menjadi tantangan besar yang harus dihadapi komunitas internasional.

Baca selengkapnya di: www.aljazeera.com
Exit mobile version