Mary Fowler Ungkap Pengalaman Depresi, Self-Harm, dan Diskriminasi Rasial di Montpellier

Pengalaman Mary Fowler dengan Depresi, Self-Harm, dan Rasisme di Montpellier

Pemain bintang Matildas, Mary Fowler, mengungkapkan pengalaman pahit yang dialaminya selama memperkuat klub Prancis Montpellier. Dalam memoarnya yang berjudul In Bloom, Fowler menceritakan secara terbuka tentang rasisme, masalah mental, dan tekanan fisik yang dirasakannya saat bermain di klub tersebut.

Fowler bergabung dengan Montpellier saat berusia 17 tahun dan meninggalkan klub itu setelah dua tahun untuk bergabung dengan Manchester City. Ia mengungkapkan bagaimana dirinya dan rekannya, Ashleigh Weerden, diperlakukan tidak adil setelah pertandingan kandang terakhir mereka di Montpellier. Saat acara penghargaan di lapangan untuk pemain yang akan pergi, Fowler dan Weerden ternyata tidak menerima bunga seperti rekan-rekan mereka yang lain.

Rasisme yang Terjadi di Klub

Setelah pertandingan, rekan-rekan mereka mempertanyakan mengapa Fowler dan Weerden tidak mendapat bunga. Namun, yang menyakitkan adalah ketika salah satu pemain Montpellier memberikan pisang kepada mereka dengan candaan yang mengandung rasisme. Fowler menjelaskan, “Tidak menerima bunga saja sudah menyakitkan, apalagi menerima pisang sebagai lelucon, sementara kami adalah dua dari enam pemain kulit hitam di skuad.”

Fowler juga menyatakan bahwa pengalaman tersebut bukanlah insiden tunggal. Ada banyak momen lain yang membuat dirinya dan Weerden merasa diabaikan dan tidak dihargai. Ia menyesal karena pada saat itu mereka tidak berani membela diri, “Kami hanya duduk dan memegang pisang itu,” tulisnya.

Beban Mental dan Fisik Selama di Montpellier

Selain menghadapi rasisme, Fowler juga mengalami tekanan berat pada kesehatan mentalnya. Ia mengaku pernah mempertimbangkan untuk pensiun dari sepak bola karena merasa tertekan dan ingin menjalani hidup biasa seperti remaja lainnya. Pada satu kesempatan, Fowler mengalami nyeri dada saat kembali dari pemusatan latihan internasional, tetapi pelatih klub memaksanya untuk bermain di pertandingan selanjutnya meskipun kondisinya belum pulih.

Fowler menulis, “Saya mengatakan kepada pelatih bahwa saya tidak berpura-pura sakit, namun dia tetap menginginkan saya bermain dan terus bertanya berapa menit saya bisa bertahan di lapangan.” Meskipun kemudian ia tidak jadi bermain, peristiwa itu membuat Fowler sadar bahwa suara dan kesehatannya harus diperjuangkan.

Perjuangan Melawan Depresi dan Self-Harm

Bagian tersulit yang ditulis Fowler dalam buku adalah soal kesehatan mentalnya. Ia mengaku sempat mengalami depresi dan melakukan self-harm sebagai cara mengatasi tekanan emosional. Meskipun kini tidak lagi melukai dirinya secara fisik, Fowler mengaku masih mencari cara untuk menyalurkan rasa sakitnya, seperti mengabaikan makan dan tidur.

Ia berharap keterbukaannya ini dapat menginspirasi orang lain untuk berbicara lebih banyak tentang kesehatan mental dan mendukung mereka yang mengalami kesulitan. “Depresi tidak memilih siapa, ia bisa datang kapan saja dan membawa kita ke tempat yang menakutkan,” tulis Fowler dengan harapan agar semua orang dapat lebih ramah dan membangun percakapan positif.

Fowler telah berbagi kisahnya demi meningkatkan kesadaran tentang rasisme dan kesehatan mental di dunia olahraga, khususnya sepak bola wanita. Klub Montpellier hingga saat ini belum memberikan tanggapan resmi terkait pengakuan Fowler.

Baca selengkapnya di: www.abc.net.au
Exit mobile version