Gen Z dan Masyarakat Adat Protes Keras, Kepung KTT Iklim COP30 di Brasil: Penyebabnya?

Shopee Flash Sale

Konferensi Tingkat Tinggi Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belem, Brasil, berubah menjadi ajang protes besar-besaran. Ribuan aktivis, terutama generasi Z dan masyarakat adat, memblokade ruang perundingan untuk menuntut keterlibatan dalam pengambilan keputusan iklim.

Pemuda-pemudi ini merasa masa depan mereka diabaikan dalam diskusi elite yang mendominasi meja perundingan. Mereka menuntut suara yang nyata karena dampak krisis iklim paling dirasakan langsung oleh mereka.

Gen Z dan Aktivisme Iklim

Generasi Z disebut sebagai "pemilik masa depan" yang berani mengkritik ketidakadilan dalam pengelolaan isu iklim. Mereka datang dengan semangat tinggi dari berbagai negara melalui jaringan seperti Fridays for Future. Aktivis muda dari Filipina, Rachelle Junsay, menyatakan bahwa ketidaklibatan generasi muda adalah bentuk pengkhianatan terhadap masa depan mereka.

Para elite yang terlihat nyaman dalam "menara gading" dianggap tidak mewakili realitas krisis yang dihadapi masyarakat adat, petani, dan nelayan. Ini memicu frustrasi dan aksi langsung yang berani menghentikan diskusi penting di COP30.

Perlawanan Berskala Lokal

Selain isu global, demonstrasi juga menyoroti persoalan lokal, seperti rencana pemerintah Brasil mengkomersialisasi Sungai Tapajos di Amazon. Sungai ini vital bagi komunitas adat yang bergantung pada kelestariannya.

Ana Heloisa Alves, pemimpin organisasi pemuda Brasil, membawa pesan kuat lewat spanduk bertuliskan "Sungai ini untuk rakyat." Mereka memperingatkan bahwa eksploitasi sumber daya alam tanpa persetujuan masyarakat adat akan memperparah krisis lingkungan dan sosial.

Pesimisme terhadap Hasil KTT

Meski semangat protes membara, banyak analis merasa pesimis dengan hasil akhir COP30. Mereka memprediksi bahwa konferensi ini hanya akan mengulang janji lama tanpa kemajuan berarti dalam pendanaan iklim untuk negara-negara berkembang.

Kondisi makin diperparah dengan absennya Amerika Serikat, salah satu negara dengan emisi karbon terbesar. Presiden Donald Trump menyebut perubahan iklim sebagai "tipuan" dan menarik diri dari Perjanjian Paris.

Ketidakhadiran pemain kunci membuat ekspektasi publik terhadap COP30 turun drastis. Banyak pihak meragukan konferensi ini mampu mendorong aksi nyata yang dibutuhkan demi masa depan planet.

Dinamika Perubahan Iklim di Kacamata Masyarakat Adat

Masyarakat adat selama ini menjadi korban langsung perubahan iklim dan eksploitasi lingkungan besar-besaran. Namun, suara mereka sering terpinggirkan dalam forum internasional yang dikuasai oleh para elit negara maju.

Di COP30, keberadaan mereka sebagai penggerak protes menegaskan pentingnya memasukkan perspektif lokal dalam kebijakan iklim global. Pengalaman dan pengetahuan tradisional mereka berpotensi menjadi solusi lama kelamaan.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Kepulangan tanpa kesepakatan besar di COP30 bukan berarti perjuangan berhenti. Aktivis muda dan masyarakat adat telah membuktikan kekuatan gerakan jalanan dalam menekan elit agar lebih serius menangani krisis iklim.

Mereka menuntut perubahan nyata dan partisipasi setara dalam keputusan yang menentukan masa depan mereka. Sementara itu, dunia internasional diharapkan membuka ruang lebih luas agar suara generasi penerus dan komunitas lokal tidak diabaikan lagi.

Dengan tekanan publik yang kian meningkat, COP dan forum iklim selanjutnya mungkin akan menghadapi tuntutan lebih keras dari kelompok akar rumput. Revolusi cara berpikir dan bertindak dalam menghadapi ancaman iklim nampaknya tak bisa dielakkan lagi.

Baca selengkapnya di: www.suara.com

Berita Terkait

Back to top button