Riuh Zona Waktu di ASEAN: Dampak dan Tantangan Bagi Integrasi Wilayah

Shopee Flash Sale

Perbedaan zona waktu menjadi isu menarik di kawasan Asia Tenggara, terutama di negara anggota ASEAN yang memiliki keberagaman waktu operasi. Malaysia Semenanjung, misalnya, memilih mengikuti zona waktu GMT+8 sejak 1982 demi keseragaman dengan wilayah Malaysia Timur seperti Sabah dan Sarawak. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh keputusan Perdana Menteri Mahathir Mohamad yang menginginkan keseragaman waktu sebagai simbol modernisasi dan pembangunan nasional.

Namun, langkah tersebut menimbulkan berbagai efek pada aktivitas masyarakat. Waktu matahari terbit yang mundur menjadi sekitar pukul 07.00 pagi menyebabkan orang tua mengeluhkan waktu persiapan sekolah anak-anak menjadi sangat singkat. Selain itu, senja datang lebih cepat, sehingga sebagian besar aktivitas pekerjaan dan kegiatan sosial berlangsung saat hari sudah gelap, yang juga berdampak pada waktu makan malam warga Malaysia.

Respons Sosial dan Perdebatan Zona Waktu

Isu perubahan zona waktu ini kembali mencuat setelah postingan Menteri Investasi, Perdagangan dan Industri Malaysia, Tengku Zafrul Aziz, yang membagikan kesan positifnya soal berolahraga pagi di Kota Kinabalu, Sabah. Unggahan ini malah memantik perdebatan lama di media sosial, di mana banyak warganet meminta agar waktu di Malaysia Semenanjung dimundurkan satu jam. Namun, sejumlah pakar medis menilai belum cukup bukti ilmiah yang mendukung efek signifikan perubahan waktu terhadap kesehatan masyarakat.

Menurut Mahadir Ahmad, psikolog klinis dari Universiti Kebangsaan Malaysia, perubahan waktu satu jam tidak serta-merta menghasilkan gangguan kesehatan yang besar. Ia menegaskan pentingnya menjaga ritme sirkadian melalui kebiasaan dan rutinitas tidur yang teratur dibandingkan perubahan zona waktu. Hal ini pula yang disinyalir menjadi alasan pemerintah saat ini untuk tidak mempertimbangkan revisi waktu, mengingat potensi dampak ekonomi yang signifikan, sebagaimana dikemukakan oleh mantan Menteri Investasi, Perdagangan, dan Industri Liew Chin Tong.

Sejarah dan Anomali Zona Waktu Malaysia

Sejarah penentuan zona waktu Malaysia cukup kompleks. Pada masa Perang Dunia II, Malaysia dan Singapura pernah berada di zona waktu GMT+9 karena tekanan penjajahan Jepang. Setelah perang, Malaysia Semenanjung menggunakan UTC+7:30 sebelum akhirnya beralih ke GMT+8 pada 1982. Keputusan ini membuat Kuala Lumpur memiliki perbedaan waktu yang unik dibandingkan kota-kota tetangga seperti Bangkok dan Jakarta yang mengadopsi GMT+7.

Kenaikan zona waktu ini juga menempatkan Kuala Lumpur sejalan dengan Manila, yang secara geografis terletak jauh ke timur. Singapura mengikuti langkah serupa demi kemudahan bisnis dan pariwisata. Kondisi ini menimbulkan kritik terhadap kurangnya sinar matahari pagi dan senja yang terlalu cepat, yang dianggap mengganggu siklus biologis warga.

Gagasan Penyatuan Zona Waktu ASEAN

Selain persoalan nasional, gagasan penyatuan zona waktu di seluruh ASEAN juga kerap muncul untuk memperkuat integrasi ekonomi kawasan. Abdul Wahid Omar, pemimpin bursa saham Malaysia, menyarankan agar ASEAN menggunakan zona waktu GMT+8 yang sama, sehingga selaras dengan waktu Cina, Hong Kong, dan Taiwan. Ide ini mendapatkan dukungan dari Singapura dan pernah dibahas berbagai kali sejak 1995, termasuk saat Malaysia menjadi ketua ASEAN.

Jika diterapkan, perubahan ini akan menyulitkan negara-negara yang saat ini berada di GMT+7, seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Laos untuk maju satu jam. Myanmar bahkan harus memajukan waktu satu setengah jam dari GMT+6:30-nya. Indonesia menghadapi tantangan terbesar karena membentang di tiga zona waktu berbeda: GMT+7, GMT+8, dan GMT+9. Organisasi regional sudah mendiskusikan hal ini sejak 2012, namun belum menemukan keputusan yang pasti.

Kompleksitas Zona Waktu di ASEAN

Zona waktu di kawasan ASEAN memang masih terfragmentasi. Rata-rata negara terbagi antara GMT+7 dan GMT+8, sementara perubahan ke satu zona waktu masih dirasa terlalu sulit diterapkan. Faktor geografis yang luas dan perbedaan aktivitas sosial-ekonomi jadi alasan utama resistensi terhadap wacana penyatuan. Meski begitu, perdebatan tentang zona waktu kerap kali menjadi cerminan dinamika politik, ekonomi, dan sosial di ASEAN yang terus berkembang.

Perbedaan waktu antarnegara juga memberikan tantangan tersendiri bagi koordinasi bisnis, jadwal penerbangan, dan kerjasama lintas negara. Pemerintah dan pemangku kepentingan masih mengkaji dampak perubahan waktu, baik dari segi teknis maupun sosial. Hingga saat ini, belum ada konsensus kuat yang mengarah pada perubahan besar di sistem zona waktu ASEAN maupun di masing-masing negara anggota.

Berita Terkait

Back to top button