Ancaman terhadap Jurnalis di Asia Meningkat: Teror, Serangan Digital, dan Represi Negara

Ancaman terhadap jurnalis di Asia semakin meningkat secara signifikan dengan berbagai modus operandi, mulai dari teror fisik, serangan digital, hingga represi yang dilakukan oleh negara. Situasi ini diperparah oleh menguatnya otoritarianisme dan dominasi perusahaan teknologi yang mengikis ruang kebebasan bagi media untuk bekerja secara independen.

Dalam konferensi Global Investigative Journalism Conference 2025 (GIJC25) yang digelar di Kuala Lumpur, para editor investigasi senior memaparkan nyata bahwa jurnalis bekerja dalam kondisi yang semakin berbahaya. Selain anggaran redaksi yang mengecil, serangan baik secara digital maupun fisik kini menjadi ancaman nyata, dan jurnalis perempuan menjadi target utama ketidakamanan ini.

Teror Fisik dan Ancaman Nyata di Lapangan
Kasus di Indonesia memperlihatkan betapa seriusnya ancaman tersebut. CEO Tempo Digital, Wahyu Dhyatmika, mengungkapkan pengalaman buruk redaksinya setelah melaporkan judi online yang melibatkan seorang tokoh politik terkenal. Redaksi Tempo menerima kotak berisi kepala babi dengan telinga yang dipotong, sebuah aksi teror yang dianggap paling brutal oleh jurnalis setempat.

Tidak hanya itu, tiga minggu setelah laporan mereka tayang, situs Tempo Digital diserang serangan Distributed Denial of Service (DDoS) yang membuat situs tidak dapat diakses. Wahyu menjelaskan bahwa ini menunjukkan ruang kebebasan sipil untuk mengkritik pemerintah makin terjepit. Dalam aksi-protes besar, polisi pun dilaporkan menargetkan fotografer serta videografer untuk menghilangkan bukti pelanggaran yang mereka lakukan.

Serangan Digital Meningkat di Tengah Dominasi Teknologi
Serangan digital bukan hanya terjadi di Indonesia. Di seluruh Asia, platform besar dan sistem teknologi yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa turut membatasi ruang gerak jurnalis. Akses terhadap informasi semakin dikontrol, dan segala bentuk aktivitas jurnalisme investigatif mudah terkena tekanan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Serangan digital ini termasuk penyusupan, penggantian data, hingga pemblokiran akses situs berita. Para jurnalis perempuan menjadi yang paling rentan terhadap serangan digital dan intimidasi daring yang intensif, menambah lapisan risiko dan tekanan yang mereka hadapi.

Represi Negara dan Kriminalisasi Jurnalis
Represi oleh negara juga menjadi ancaman berat yang membayang-bayangi jurnalis. Di Azerbaijan, jurnalis perempuan menghadapi risiko penahanan dan dakwaan bermotif politik. Gunel Safarova dari Abzas Media menuturkan dampak emosional dari kondisi ini sangat berat karena kolega dan teman mereka dipenjara tanpa alasan yang adil.

Di Taiwan, tekanan militer China dan perang informasi yang berlangsung tiap hari menciptakan zona abu-abu dalam konflik yang tidak sepenuhnya terbuka namun sangat membatasi kebebasan pers lokal. Represi semacam ini mempersulit jurnalis dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawal kebenaran.

Solidaritas dan Kolaborasi Sebagai Strategi Bertahan
Para pemimpin media di kawasan ini sepakat bahwa satu-satunya cara untuk menghadapi ancaman ini adalah dengan membangun solidaritas dan kolaborasi lintas negara. Glenda Gloria, Executive Editor Rappler dari Filipina, menekankan pentingnya membangun kembali kepercayaan publik dengan melibatkan warga melalui foto, video, dan petunjuk lapangan, supaya laporan investigasi menjadi valid dan mendapat dukungan luas.

Kombinasi antara keberanian jurnalis dan kerja sama antar media diperlukan demi menjaga keberlanjutan jurnalisme investigatif yang terus berupaya mengungkap fakta di tengah tekanan yang semakin berat.

Pentingnya Perlindungan bagi Jurnalis Perempuan
Data dan pengalaman di lapangan menegaskan bahwa jurnalis perempuan paling rentan terhadap beragam serangan, baik fisik maupun digital. Oleh karena itu, perlindungan khusus dan penguatan mekanisme keamanan bagi mereka sangat krusial supaya tidak menjadi sasaran empuk represi dan intimidasi.

Penguatan jaringan solidaritas antar jurnalis perempuan dan organisasi pendukung menjadi salah satu jalan penting yang harus dikembangkan agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan aman dan bebas dari ancaman.

Fakta Kunci Ancaman terhadap Jurnalis di Asia

  1. Otoritarianisme mempersempit kebebasan pers dan ruang kritik.
  2. Serangan fisik seperti teror simbolik makin sering terjadi, terutama pada media yang mengungkap isu sensitif.
  3. Serangan digital berupa DDoS, penyusupan, dan pembatasan akses situs meningkat drastis.
  4. Jurnalis perempuan menghadapi risiko paling tinggi atas intimidasi dan kekerasan.
  5. Represi negara termasuk penahanan dan kriminalisasi terus berlangsung di beberapa negara.
  6. Solidaritas lintas negara dan keterlibatan warga menjadi strategi utama melawan tekanan tersebut.

Ancaman terhadap jurnalis di Asia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dan menuntut perhatian global. Di tengah tekanan yang makin kompleks, keberanian, kolaborasi, dan dukungan publik menjadi prasyarat utama untuk mempertahankan jurnalisme investigatif sebagai pilar demokrasi dan penegakan hak asasi manusia.

Baca selengkapnya di: www.suara.com
Exit mobile version