Meningkatnya ketegangan antara Venezuela dan Amerika Serikat pada September 2025 telah menarik perhatian dunia. Namun, mayoritas warga Venezuela lebih takut akan inflasi yang melonjak luar biasa ketimbang ancaman intervensi militer dari AS.
Presiden AS Donald Trump mengerahkan kekuatan militer besar ke perairan lepas pantai Venezuela dalam operasi antinarkoba. Ia juga memperingatkan kemungkinan operasi darat dan pemblokadean wilayah udara Venezuela, yang memicu kekhawatiran soal rencana intervensi dan penggulingan pemerintahan Presiden Nicolas Maduro.
Meski situasi politik memanas, warga di ibu kota Caracas lebih khawatir dengan kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari. Alejandro Orellano, pedagang sayur di pasar Quinta Crespo, menegaskan bahwa kenaikan nilai tukar dolar jauh lebih mengancam daripada serangan militer, sebagaimana dilaporkan BBC Mundo.
Bank Sentral Venezuela mencatat bolivar kehilangan sekitar 70% nilai terhadap dolar AS sejak operasi militer AS di Karibia. Di pasar gelap, satu dolar bahkan mencapai sekitar 370 bolivar, jauh di atas kurs resmi 249 bolivar.
Depresiasi bolivar menyebabkan harga pangan impor melonjak drastis. Sanksi ekonomi AS memperparah kondisi pasar dan menekan daya beli masyarakat. Yon Michael Hernandez, sopir taksi di Petare, mengungkapkan bahwa harga tepung jagung, bahan makanan pokok arepas, naik dari 220 bolivar menjadi 260 bolivar dalam beberapa hari saja.
Selama 20 bulan terakhir, Venezuela sempat berhasil menahan inflasi di bawah 10% sebelum akhirnya Bank Sentral berhenti mengeluarkan data inflasi sejak Oktober 2024. IMF memperkirakan inflasi Venezuela mencapai 270% pada 2025 dan berpotensi meroket hingga 682% pada akhir 2026.
Kenaikan inflasi yang ekstrem membawa dampak besar bagi usaha kecil dan rumah tangga miskin. Marjorie Yanez, penjual jajanan kaki lima, mengatakan usaha kecil mereka terpukul oleh fluktuasi nilai tukar yang tidak menentu. Harga sarapan sederhana dapat mencapai sekitar US$ 10, sementara upah minimum hanya di bawah US$ 1 per bulan.
Harga kebutuhan pokok selama masa liburan hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Banyak warga masih pergi ke mal, tetapi harus membatasi pembelian karena gaji bulanan yang sangat kecil. Miguel Perez, pekerja konstruksi, tak mampu membeli televisi baru karena harga melonjak hingga US$ 400.
Kondisi ini membuat warga sulit menyimpan stok bahan makanan. Consuelo, seorang lansia berusia 74 tahun, mengatakan ia tidak mampu lagi menabung makanan karena kekurangan uang. Ia lebih memilih menghadapi hari demi hari seraya berusaha bertahan.
Meski demikian, tidak semua warga mengabaikan potensi ancaman militer AS. Esther Guevara, tenaga medis, mengaku cemas akan kemungkinan serangan yang bisa menimbulkan banyak korban jiwa. Ia merasa firasat buruk terhadap situasi yang sedang berkembang.
Presiden Maduro mengonfirmasi telah berbicara dengan Trump melalui telepon. Maduro menyambut baik kemungkinan dialog damai, sementara Trump mengatakan percakapan itu belum menutup opsi militer. Namun, bagi masyarakat biasa, ancaman terbesar tetap pada keadaan ekonomi yang memburuk.
Javier Jaramillo, pedagang lokal, menegaskan bahwa ketakutan utama warga adalah inflasi yang menggerogoti kemampuan mereka memenuhi kebutuhan pangan. Baginya, masalah ekonomi jauh lebih menekan daripada kekhawatiran politik atau militer.
Daftar faktor utama yang membuat warga Venezuela lebih takut pada inflasi dibanding konflik militer AS:
1. Nilai bolivar yang terus menurun signifikan terhadap dolar AS.
2. Lonjakan harga pangan dan barang impor yang menyulitkan kehidupan sehari-hari.
3. Inflasi yang diprediksi mencapai ratusan persen oleh IMF dalam dua tahun ke depan.
4. Upah minimum yang sangat rendah tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
5. Sanksi ekonomi AS yang memperparah kondisi pasar lokal.
6. Ketidakpastian ekonomi yang memaksa banyak warga menghemat dan menunda pembelian barang pokok.
Secara keseluruhan, meskipun ketegangan militer menjadi headline berita internasional, realitas sehari-hari warga Venezuela didominasi oleh kesulitan ekonomi akibat inflasi. Mereka berjuang memenuhi kebutuhan dasar tanpa harapan signifikan atas perbaikan dalam waktu dekat. Inflasi tinggi dan melemahnya mata uang menjadi ancaman terbesar yang mengguncang stabilitas kehidupan masyarakat negeri itu.
Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com





