Ketika Niat Baik Merusak Alam: Pelajaran dari Gagalnya Restorasi Mangrove di Filipina

Shopee Flash Sale

Restorasi mangrove sering dianggap solusi utama dalam menghadapi krisis iklim dan kerusakan ekosistem pesisir. Namun, pengalaman di Filipina menunjukkan bahwa menanam bibit mangrove secara masif tidak selalu menjamin keberhasilan pemulihan hutan mangrove yang sehat dan berfungsi.

Selama satu abad terakhir, Filipina kehilangan hampir 75% hutan mangrovenya akibat konversi lahan menjadi tambak dan pembangunan. Untuk memulihkan kerusakan ini, upaya penanaman ratusan juta bibit mangrove dilakukan di lahan seluas 44.000 hektare. Sayangnya, sebagian besar bibit yang ditanam mati, kerdil, atau gagal berkembang.

Penyebab utama kegagalan restorasi mangrove

Para ahli biologi dari University of the Philippines, Maricar Samson dan Rene Rollon, mengungkapkan bahwa kegagalan ini terutama karena bibit ditanam di lokasi yang salah. Mereka menanam bibit di daerah yang tidak sesuai dengan kebutuhan biologis mangrove seperti dataran lumpur, dataran pasir, atau padang lamun yang tidak mendukung pertumbuhan. Lokasi penanaman ini juga sering kekurangan nutrisi atau terkena tekanan fisik seperti angin kencang dan arus kuat.

Roy "Robin" Lewis III, pakar restorasi mangrove internasional, menyatakan, "Ketidaktahuan dan keserakahan sering kali berkuasa," yang menggambarkan bahwa kurangnya pemahaman ilmiah dan pendekatan pragmatis menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Aktivitas restorasi yang kurang tepat bahkan merusak habitat alami lain yang penting bagi spesies seperti duyung dan penyu.

Hutan mangrove hasil tanam yang tidak beregenerasi

Studi lebih lanjut menyebutkan bahwa hutan mangrove hasil penanaman yang berusia puluhan tahun di Filipina masih memiliki struktur yang sederhana dan gagal meregenerasi secara alami. Contohnya di Pulau Banacon, hutan mangrove buatan berusia 60 tahun tidak memiliki lapisan bawah anakan muda, sehingga tidak dapat menarik spesies mangrove lain meski terdapat sumber benih alami di sekitar.

Kondisi ini menghasilkan perkebunan monospesifik yang rapuh dan minim fungsi ekologis. Padahal tujuan restorasi yang ideal adalah menciptakan ekosistem mangrove yang menyerupai hutan alami dengan keanekaragaman dan fungsi lingkungan yang kompleks.

Pelajaran penting dari gagal restorasi di Filipina

Pengalaman gagal ini memberikan tiga pelajaran utama yang relevan bagi negara lain, termasuk Indonesia:

  1. Memahami sains zonasi ekosistem
    Penanaman harus dilakukan berdasarkan pemahaman ilmiah tentang zonasi mangrove. Lokasi ideal berada di lereng landai di atas permukaan laut yang tergenang pasang surut kurang dari sepertiga waktu. Panduan ilmiah seperti ini harus menjadi dasar setiap proyek restorasi.

  2. Fokus pada pemulihan alami
    Alih-alih hanya menanam bibit secara masif, pendekatan yang efektif adalah memperbaiki hidrologi, terutama aliran pasang surut di tambak-tambak jeblok. Dengan kondisi hidrologi yang telah dipulihkan, bibit mangrove alami akan tumbuh dengan sendirinya.

  3. Kebijakan yang mendukung restorasi ekologi
    Pemerintah perlu membuat kebijakan yang memudahkan konversi tambak terbengkalai menjadi area hutan mangrove dengan pendekatan ekologis. Kebijakan ini harus berpihak pada keberlanjutan dan fungsi ekosistem, bukan hanya program penanaman seremonial yang bersifat simbolis.

Relevansi bagi Indonesia dan negara pesisir lainnya

Indonesia, sebagai negara dengan hutan mangrove terluas dunia, mulai belajar dari pengalaman Filipina. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) kini menerapkan pendekatan berbasis sains yang menitikberatkan pada rehabilitasi hidrologi dan pemberdayaan masyarakat lokal.

Pendekatan ini diharapkan dapat mengembalikan fungsi ekosistem pesisir secara berkelanjutan. Upaya restorasi tidak boleh sebatas penanaman pohon, tetapi harus mampu menciptakan kondisi yang memungkinkan mangrove tumbuh dan berkembang alami agar manfaat ekologis dan sosial dapat terwujud.

Kisah kegagalan restorasi mangrove di Filipina mengingatkan kita bahwa niat baik harus disertai pemahaman mendalam tentang ekosistem. Dengan mengetahui kesalahan masa lalu dan menerapkan ilmu pengetahuan yang tepat, restorasi mangrove dapat memberi dampak positif nyata bagi mitigasi iklim dan perlindungan keanekaragaman hayati di pesisir.

Baca selengkapnya di: www.suara.com

Berita Terkait

Back to top button