Hukuman terhadap koruptor memiliki perbedaan mencolok antara China dan Indonesia. Di China, seorang koruptor dapat dijatuhi hukuman mati, sementara di Indonesia hukuman mati sangat jarang diterapkan meskipun secara hukum masih dimungkinkan.
Contoh konkret terdapat pada kasus Gou Zhongwen, mantan Kepala Administrasi Umum Olahraga China. Pada 8 Desember 2025, Pengadilan Menengah Rakyat Yancheng menjatuhkan vonis hukuman mati dengan penangguhan dua tahun kepada Gou. Ia terbukti menerima suap senilai lebih dari 236 juta yuan atau sekitar Rp557 miliar selama periode 2009 hingga 2024 serta menyalahgunakan jabatannya.
Pengadilan menilai kejahatan Gou sangat serius karena suapnya dalam jumlah fantastis dan dampak sosial yang luas. Selain hukuman mati, Gou juga kehilangan hak politik seumur hidup dan seluruh harta pribadinya disita oleh negara. Dia juga dijatuhi tambahan hukuman lima tahun penjara atas penyalahgunaan kekuasaan saat menjabat Wakil Wali Kota Beijing.
Hukuman mati dengan penangguhan dua tahun di China biasanya akan diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup apabila terpidana tidak mengulangi kejahatan selama masa percobaan. Namun, dalam kasus Gou, pengadilan menyatakan tidak ada pengurangan hukuman lebih lanjut mengingat pelanggarannya sangat berat dan merugikan negara secara signifikan.
Perbedaan ini sangat kontras dengan sistem hukum di Indonesia terkait tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengatur pemberantasan korupsi. Hukuman maksimal yang biasa dijatuhkan adalah penjara seumur hidup atau hingga 20 tahun penjara. Pidana mati memang diatur, tetapi praktik penerapannya sangat langka.
Rincian hukuman penjara di Indonesia berdasarkan jenis tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Pasal 2 (Memperkaya diri) : Pidana penjara minimal 4 tahun hingga maksimal 20 tahun atau seumur hidup.
2. Pasal 3 (Penyalahgunaan wewenang) : Pidana penjara minimal 1 tahun hingga maksimal 20 tahun
Selain pidana penjara, sanksi administratif dan finansial juga diterapkan seperti pencabutan hak politik, perampasan aset hasil korupsi, dan kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara. Namun, hukuman mati yang tegas seperti di China belum menjadi praktik umum di Indonesia.
Hukuman yang lebih ringan ini dipandang oleh sebagian pihak sebagai salah satu faktor yang membuat praktik korupsi masih marak di dalam negeri. Sementara China dengan hukuman mati mencegah secara efektif kegiatan korupsi kelas tinggi melalui ancaman hukuman yang berat dan eksekusi yang tegas.
Kasus Gou Zhongwen menyiratkan bahwa penegakan hukum yang ketat dengan hukuman berat termasuk ancaman hukuman mati bisa menjadi jalan untuk menekan pelaku korupsi. Indonesia masih memberlakukan dasar hukum yang memungkinkan hukuman mati, tetapi konsistensi dalam penerapannya belum sekuat negara-negara yang menerapkan sanksi mati secara jelas dan tegas.
Mengingat besarnya jumlah uang suap dan dampak kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi, perbedaan perlakuan hukum tersebut menjadi sorotan kritis. Implementasi hukuman yang lebih tegas sering dianggap sebagai upaya yang efektif untuk mengurangi praktik koruptif, khususnya bagi pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan dan kewenangan.
Data dan contoh kasus dari China ini memberikan gambaran nyata tentang bagaimana negara yang menghadapi tantangan korupsi serius memilih jalan hukuman mati dengan penangguhan sebagai bentuk hukuman yang sangat keras. Indonesia masih perlu membangun sistem yang lebih efektif agar pemberantasan korupsi dapat berjalan lebih optimal dan memberikan efek jera nyata bagi pelaku.
Baca selengkapnya di: www.suara.com





