Radang usus kronik atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) menunjukkan peningkatan kasus di Indonesia. Data dari studi Asia-Pacific Crohn’s and Colitis Epidemiologic Study (ACCESS) mencatat angka kejadian IBD di Indonesia sekitar 0,77 per 100.000 penduduk per tahun. Meski angka ini masih terbilang kecil, tren peningkatannya konsisten dan mengkhawatirkan.
Peningkatan kasus ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat dan tenaga medis terhadap gejala IBD. Banyak pasien baru menyadari kondisi mereka sudah parah ketika mulai mengalami komplikasi. Hal ini terjadi karena gejala IBD sering disalahartikan sebagai gangguan pencernaan ringan seperti Irritable Bowel Syndrome (IBS) atau sakit maag.
Mengapa Diagnosis IBD Terlambat?
Gejala IBD seperti diare berdarah, nyeri perut berulang, dan kelelahan ekstrem sering dianggap biasa. Dalam banyak kasus, pasien dan dokter awal mengira gangguan tersebut hanya masalah sementara. Kurangnya fasilitas pemeriksaan yang memadai juga menjadi kendala dalam menegakkan diagnosis secara cepat dan tepat.
Minimnya layanan terpadu membuat pasien sering berpindah-pindah rumah sakit tanpa mendapatkan kepastian diagnosis. Akibatnya, penanganan yang seharusnya dapat dimulai sejak dini tertunda. Padahal, diagnosis dan terapi awal sangat penting untuk mengendalikan kerusakan usus dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Dampak IBD terhadap Pasien
IBD terdiri dari dua jenis utama, yaitu Crohn Disease dan kolitis ulseratif. Kedua penyakit ini bersifat kronis dan butuh penanganan jangka panjang. Selain gejala fisik, seperti diare berdarah dan rasa nyeri, pasien juga kerap mengalami gangguan nutrisi serta penurunan daya tahan tubuh.
Kondisi ini memengaruhi aktivitas sehari-hari pasien secara drastis. Banyak pasien yang kesulitan menjalani rutinitas akibat kelelahan dan ketidaknyamanan yang terus-menerus. Meski IBD tidak langsung mematikan, dampaknya bagi kualitas hidup pasien sangat signifikan.
Upaya Mempercepat Diagnosis dan Penanganan
Menjawab kebutuhan itu, RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana meluncurkan IBD Center, sebuah layanan terpadu khusus untuk diagnosis, perawatan, dan edukasi IBD. Soft launching layanan ini dilakukan pada November 2025 dengan tujuan mempercepat proses diagnosis dan meningkatkan kesadaran masyarakat.
Direktur Medik dan Keperawatan RSCM, dr. Renan Sukmawan, menegaskan bahwa penyakit ini dapat dikelola dengan baik jika pasien mendapatkan layanan yang tepat. Pendekatan individual dan personal menjadi kunci agar pasien dapat mempertahankan kualitas hidup optimal. “Tujuan kami adalah mengembalikan kualitas hidup dasar pasien seoptimal mungkin,” ujarnya.
Pentingnya Penanganan Menyeluruh dan Edukasi
Ahli gastroenterologi RSCM Kencana menyoroti pentingnya membedakan IBD dari gangguan pencernaan lain. dr. Amanda Pitarini Utari menjelaskan diagnosis IBD harus didasarkan pada evaluasi klinis dan pemeriksaan penunjang secara menyeluruh. Faktor genetik, imun, dan lingkungan turut berperan dalam perkembangan penyakit ini.
Sementara itu, dr. Rabbinu Rangga Pribadi menambahkan bahwa penanganan harus menyesuaikan dengan kondisi pasien. Terapi IBD bertujuan mencapai remisi klinis, penyembuhan mukosa, serta mencegah komplikasi jangka panjang. Pendekatan ini membantu pasien hidup lebih baik meski dengan kondisi kronis.
Manfaat Layanan Terpadu IBD Center
IBD Center menyediakan edukasi, pemeriksaan diagnostik, dan terapi berkelanjutan dalam satu tempat. Layanan ini menyederhanakan perjalanan pasien sehingga diagnosis tidak lagi tertunda. Dengan pendekatan komprehensif, IBD Center diharapkan menjadi pusat layanan unggulan di Indonesia sekaligus rujukan regional untuk radang usus kronik.
Melalui IBD Center, masyarakat dapat lebih mengenal gejala penyakit dan segera mencari penanganan medis. Hal ini penting agar pasien tidak baru sadar saat penyakit sudah berkembang parah. Dukungan layanan terpadu juga meningkatkan peluang pasien menjalani terapi yang konsisten dan efektif dalam jangka panjang.
Baca selengkapnya di: www.suara.com