
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso, menyoroti kerentanan anak-anak di lokasi pengungsian akibat bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor. Menurutnya, keselamatan dan kesehatan anak harus menjadi prioritas utama sejak evakuasi hingga penempatan di tempat yang aman.
Anak-anak yang mengungsi menghadapi risiko tinggi gangguan kesehatan karena kondisi lingkungan yang sangat terbatas dan padat. Fasilitas pendukung yang minim membuat mereka rentan terhadap berbagai penyakit menular.
Beberapa penyakit yang sering menyerang anak di pengungsian meliputi infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), gangguan kulit, diare, hingga leptospirosis. Ancaman penularan campak juga meningkat akibat sanitasi yang buruk di tempat pengungsian.
Penyakit-penyakit tersebut biasanya timbul karena kontak langsung anak-anak dengan air banjir yang sudah tercemar bakteri dan kuman berbahaya. Di beberapa daerah terdampak banjir, sudah ditemukan kasus anak yang menderita penyakit tersebut karena kondisi lingkungan yang tidak sehat.
Piprim mengingatkan pentingnya memastikan anak-anak mendapatkan air bersih, sanitasi layak, dan makanan bergizi selama masa pengungsian. Hal ini disampaikan dalam media briefing IDAI Tanggap Bencana untuk wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Program imunisasi juga harus tetap dijalankan secara berkelanjutan meski dalam kondisi darurat bencana. Upaya ini bertujuan mencegah munculnya penyakit menular yang mudah menyerang anak-anak di pengungsian maupun usai kondisi bencana mereda.
Dukungan menyeluruh bagi ibu menyusui juga menjadi perhatian penting. Pendampingan dan fasilitas yang memadai diperlukan agar bayi tetap dapat menerima ASI eksklusif walau berada di situasi krisis.
Ketua Satgas Penanggulangan Bencana IDAI, Kurniawan Taufiq Kadafi, menekankan bahwa pemberian ASI harus dijaga selama masa tanggap darurat bencana. Ibu menyusui perlu mendapat perhatian khusus dan dukungan di lapangan untuk kelangsungan pemberian ASI.
Akses ASI donor wajib disediakan bagi bayi yang tidak mendapatkan ASI langsung dari ibunya. Sementara itu, penggunaan susu formula harus sangat berhati-hati dan hanya dilakukan jika tersedia air bersih serta fasilitas pendukung yang aman.
Pendampingan relaktasi juga menjadi kunci supaya ibu yang mengalami gangguan saat menyusui dapat kembali melanjutkan pemberian ASI. Kurniawan menyebutkan kemudahan bagi ibu agar tetap menyusui penting dilakukan walau dengan keterbatasan sarana.
Tantangan utama pemberian ASI di pengungsian adalah minimnya pendampingan, terbatasnya akses makanan bergizi, dan sulitnya mendapatkan air bersih. Ibu yang menyusui sebagian memerlukan bantuan praktis untuk mengurangi ketergantungan pada susu formula dan botol.
Susu formula hanya boleh diberikan dalam kondisi tertentu. Penggunaannya harus disertai ketersediaan air bersih yang memadai karena air yang tercemar dapat meningkatkan risiko diare pada bayi.
Menurut Kurniawan, penggunaan susu formula dengan air yang tidak layak guna berisiko menyebabkan kekurangan gizi dan bahkan kematian bayi. Oleh karenanya, perlindungan anak di pengungsian bencana tidak hanya soal keamanan fisik tapi juga kesehatan dan gizi yang optimal.
IDI menegaskan semua pihak harus berperan memastikan lingkungan pengungsian memenuhi standar kesehatan mendasar bagi anak-anak. Penyediaan air bersih, sanitasi yang memadai, dukungan pemberian ASI, serta kelanjutan imunisasi menjadi langkah penting agar anak-anak tetap sehat dan terlindungi selama masa bencana.
Baca selengkapnya di: lifestyle.bisnis.com





