Bullying Struktural di Sekolah: Penyebab Kekerasan yang Mengakar dan Dampaknya

Kekerasan di lingkungan sekolah bukan sekadar tindakan perilaku individu yang menyimpang. Hal ini merupakan produk dari struktur sosial, hubungan kuasa, dan tata kelola pendidikan yang gagal memberikan perlindungan optimal terhadap anak.

Ketua Tanfidziyah PBNU, Alissa Wahid, menegaskan bahwa dunia pendidikan sedang mengalami krisis serius. Ia menyebut intoleransi, bullying, dan kekerasan seksual sebagai tiga dosa besar yang masih mengakar dalam sistem pendidikan yang ada.

Bullying menjadi manifestasi paling nyata dari kekerasan yang tumbuh dalam struktur sekolah. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 melaporkan bahwa 46% anak perempuan dan 37,44% anak laki-laki Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Data ini menunjukkan betapa meluasnya kekerasan, termasuk di lingkungan sekolah.

Pemerintah telah merespons persoalan ini lewat Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Regulasi ini mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan melalui penguatan tata kelola, edukasi, serta penyediaan sarana dan prasarana pendukung.

Meski regulasi sudah ada, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai kebijakan tersebut belum menyentuh akar masalah. Ia menyatakan angka kekerasan justru tidak menunjukkan penurunan signifikan, termasuk sepanjang tahun 2025.

Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPPA) mencatat 19.813 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang Januari hingga Oktober 2024. Dari jumlah tersebut, 1.117 kasus dan 1.447 korban terjadi di lembaga pendidikan, termasuk pesantren.

Kondisi ini menunjukkan bahwa sekolah masih gagal menjadi ruang aman bagi anak. Minimnya keberadaan dan fungsi Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di banyak sekolah menjadi salah satu faktor utama. TPPK yang ada hanya bersifat administratif tanpa fungsi nyata dan tidak dikenali secara luas oleh warga sekolah.

Akibatnya, proses pencegahan kekerasan lebih bersifat reaktif daripada sistematis dan terencana. Sistem pelaporan kasus dirasakan tidak aman dan kurang dipercaya oleh korban. Pemerintah daerah dan satgas terkait juga masih terbatas kapasitasnya dalam pemantauan dan penanganan.

Penanganan kasus dan pemberian sanksi seringkali terjadi secara tertutup dan tidak transparan. Hal ini semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap proses penindakan kekerasan di sekolah.

Bullying Sebagai Kekerasan Struktural

Komisi Hukum dan HAM Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (POL), Ester Jusuf, menegaskan bahwa bullying bukan sekadar masalah perilaku individu. Ia menjelaskan bullying sebagai kekerasan struktural yang lahir dari ketimpangan relasi kuasa dan dinormalisasi dalam struktur sosial pendidikan.

Budaya perpeloncoan antar senior dan junior, penghormatan mutlak terhadap guru dan pengurus, serta tekanan menjaga nama baik sekolah, membentuk sistem yang mengabaikan dan menutup-nutupi realitas kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan di sekolah adalah fenomena yang diciptakan dan dipelihara oleh birokrasi pendidikan.

Ester menambahkan bahwa bullying terjadi di ruang yang seharusnya menjadi zona perlindungan hak asasi manusia. Namun realitanya, tindakan kekerasan fisik di sekolah masih diperdebatkan sebagai bagian dari metode pendidikan.

Narasi yang sering muncul adalah menyalahkan korban, menganggap bullying sebagai candaan, dan menempatkan pencegahan kekerasan sebagai tanggung jawab administratif seperti guru BK atau TPPK semata.

Upaya Pemerintah Menghadapi Kekerasan Sekolah

Pemerintah mendorong penguatan karakter dan moderasi beragama dengan Surat Edaran Bersama dari Menteri Pendidikan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama. Program seperti Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (G7KAIH) dan kegiatan kepanduan serta ekstrakurikuler merupakan bagian dari upaya ini.

Widiyanti dari Tim Inklusivitas dan Kebhinekaan Pusat Penguatan Karakter menekankan pentingnya perspektif korban dalam mengukur keberhasilan kebijakan. Ia menyatakan bahwa keberhasilan tidak bisa diukur dari sudut pandang institusi, melainkan harus dilihat dari rasa aman anak-anak di sekolah.

Diskusi pakar menggarisbawahi bahwa kekerasan di sekolah tidak akan selesai tanpa pembongkaran struktur yang menopangnya. Selama bullying dipandang sebagai insiden individual dan bukan sebagai bagian dari masalah sistemik, sekolah akan sulit menjadi tempat yang benar-benar aman bagi anak-anak.

Baca selengkapnya di: lifestyle.bisnis.com
Exit mobile version