Kematian akibat suhu panas ekstrem terus meningkat secara drastis dan menjadi ancaman nyata bagi kesehatan global. Pada tahun 2024, diperkirakan lebih dari 546 ribu nyawa melayang akibat gelombang panas yang mencatat rekor sebagai tahun terpanas dalam sejarah.
Paparan suhu ekstrem kini terjadi rata-rata 16 kali dalam setahun bagi setiap orang di dunia. Kelompok rentan seperti bayi dan lansia bahkan mengalami paparan lebih dari 20 kali, yang memperburuk risiko kesehatan mereka secara signifikan.
Krisis iklim juga menyebabkan kekeringan dan kebakaran hutan yang berdampak pada ketahanan pangan global. Sebanyak 124 juta orang mengalami kesulitan mengakses pangan akibat perubahan iklim yang mempengaruhi produksi dan distribusi makanan.
Kerusakan ekonomi juga terasa berat, terutama karena hilangnya jam kerja akibat panas ekstrem. Pada 2023, kehilangan waktu kerja mencapai 640 miliar jam yang setara dengan kerugian ekonomi global sebesar US$ 1,09 triliun.
Ironisnya, pemerintah dunia masih memberikan subsidi besar pada bahan bakar fosil. Jumlah subsidi bahan bakar fosil mencapai US$ 956 miliar, tiga kali lipat dari total dana bantuan iklim bagi negara miskin.
Namun, ada sisi positif dari upaya transisi energi bersih yang mulai menunjukkan kemajuan. Energi terbarukan kini berkontribusi 12 persen dari total listrik global dan membuka sekitar 16 juta lapangan kerja baru.
Pengurangan penggunaan batu bara berhasil menurunkan polusi udara dan mencegah sekitar 160 ribu kematian dini setiap tahun. Hal ini membuktikan bahwa solusi krisis iklim tidak hanya berfokus pada lingkungan, tetapi juga kesehatan manusia.
Laporan tahunan The Lancet Countdown on Health and Climate Change edisi ke-9 menegaskan hubungan erat antara perubahan iklim, kesehatan publik, dan ekonomi dunia. Laporan ini dipimpin oleh University College London bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dr. Marina Romanello, Direktur Eksekutif Lancet Countdown, menekankan bahwa solusi telah tersedia, namun tantangan terbesar adalah memastikan aksi ini berkelanjutan. Dia mengingatkan agar upaya mitigasi tidak berhenti di tengah jalan.
Menjelang Konferensi Iklim COP30, WHO mengajak semua negara mengedepankan kebijakan iklim yang berpusat pada kesehatan manusia. Massa depan bumi sangat bergantung pada keberlanjutan kesehatan penghuninya.
Dampak perubahan iklim kini bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan juga krisis kesehatan yang mengancam kehidupan manusia di berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu, kerjasama global dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat penting untuk mengurangi angka kematian dan kerugian ekonomi.
Langkah percepatan transisi energi bersih dan pengurangan subsidi bahan bakar fosil menjadi kunci untuk menghindari risiko lebih besar. Dengan penerapan kebijakan yang tepat, dunia dapat membatasi ancaman iklim sekaligus meningkatkan kesehatan publik secara global.
Baca selengkapnya di: www.suara.com





