Indonesia menghadapi tantangan besar dalam upaya menurunkan angka kematian akibat dengue hingga mencapai nol pada 2030. Kasus dengue masih tinggi dengan 131.393 kasus dan 544 kematian tercatat hingga Oktober 2025, serta 471 daerah yang masuk kategori endemis.
Musim hujan yang lebih awal dan basah menurut BMKG mempercepat perkembangbiakan nyamuk, meningkatkan risiko wabah lebih luas. Beban ekonomi penyakit ini pun signifikan, dengan klaim perawatan mencapai Rp2,9 triliun di tahun 2024 dan lebih dari satu juta kasus rawat inap.
Transformasi Sistem Kesehatan Menuju Prediktif
Para ahli menilai pendekatan reaktif tidak cukup untuk mengatasi dengue secara efektif. Dr. Asik Surya, Ketua Harian KOBAR Lawan Dengue, menekankan perlunya kepemimpinan berbasis data yang mampu memprediksi dan mencegah wabah sejak dini.
Kolaborasi lintas sektor dianggap vital agar kebijakan dan tindakan pencegahan dapat berjalan masif secara terukur dan berkelanjutan. Sistem kesehatan yang prediktif memungkinkan pemerintah mengantisipasi kenaikan kasus, sehingga tenaga medis dan sumber daya dapat dialokasikan lebih tepat.
Pengaruh Dengue terhadap Anak dan Dewasa
Lebih dari 50% kematian dengue terjadi pada anak usia 5–14 tahun, menurut Prof. Hartono Gunardi dari IDAI. Ia menyebut hari keempat dan kelima demam sebagai fase kritis yang sering disalahartikan orang tua sebagai tanda kesembuhan.
Sementara itu, pasien dewasa dengan penyakit penyerta seperti gangguan ginjal kronis, hipertensi, dan diabetes memiliki risiko komplikasi yang jauh lebih tinggi. Prof. Samsuridjal Djauzi dari PAPDI menekankan pentingnya imunisasi sebagai bagian dari strategi pencegahan komprehensif.
Strategi Pencegahan dan Penguatan Sistem Kesehatan
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menerapkan Strategi Nasional Penanggulangan Dengue 2021–2025 yang melibatkan surveilans, pengendalian vektor, dan edukasi publik. Dr. Prima Yosephine menyatakan bahwa kolaborasi berkelanjutan dari berbagai sektor, termasuk swasta dan akademisi, sangat dibutuhkan untuk mencapai target nol kematian.
Selain itu, program imunisasi juga didukung oleh BPJS Kesehatan dan mitra seperti Takeda untuk memperkuat pencegahan melalui edukasi dan vaksinasi. Protokol 3M Plus tetap menjadi upaya dasar, namun perlu dilengkapi dengan teknologi dan data untuk pengendalian lebih efektif.
Beban Sosial dan Ekonomi Dengue
Biaya langsung medis bukan satu-satunya dampak dengue. Kehilangan produktivitas dan tekanan psikologis keluarga pasien memberi beban tambahan yang sering terlupakan. Prof. Ghufron Mukti dari BPJS menegaskan bahwa pencegahan dengue juga memiliki implikasi penting bagi stabilitas ekonomi nasional.
Karena itu, penguatan sistem kesehatan yang berorientasi pada pencegahan dianggap sebagai investasi jangka panjang. Pendekatan ini diharapkan dapat menurunkan kasus dan kematian, sekaligus mengurangi beban sosial-ekonomi.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meski Indonesia berhasil menekan laju kasus dibanding tren global, tantangan lingkungan dan pola penyebaran nyamuk masi menjadi hambatan. Menurut Derek Wallace, Presiden Global Vaccine Business Unit Takeda, momentum ini harus dipertahankan melalui kolaborasi dan penguatan edukasi serta vaksinasi.
Perjuangan melawan dengue bukan hanya tanggung jawab medis, melainkan kewajiban bersama dari masyarakat dan pemerintah. Perubahan sistem kesehatan menuju pendekatan prediktif dan preventif menjadi kunci untuk memastikan Indonesia bebas kematian akibat dengue pada 2030.
Baca selengkapnya di: www.suara.com





