6 Alasan Orang Bule Jarang Makan Nasi: Fakta dan Kebiasaan Kuliner yang Perlu Diketahui

Shopee Flash Sale

Banyak orang bertanya mengapa orang bule jarang mengonsumsi nasi dalam kehidupan sehari-hari. Di Asia, nasi menjadi makanan pokok yang wajib hadir di setiap hidangan, sementara di negara Barat nasi lebih sering dianggap sebagai makanan sampingan dan jarang disentuh.

Faktor utama yang memengaruhi kebiasaan ini adalah budaya, kebiasaan makan sejak kecil, hingga aspek praktis dan ekonomi. Berikut enam alasan utama mengapa orang bule jarang makan nasi.

1. Kebiasaan Sejak Kecil yang Tidak Banyak Mengonsumsi Nasi
Di negara Barat, pola makan sehari-hari umumnya terdiri dari roti panggang, sereal, atau oatmeal untuk sarapan. Dalam makanan sekolah dan rumah tangga, nasi hampir tidak pernah menjadi bagian dari menu utama, sehingga rasa dan tekstur nasi tidak dipupuk sejak dini. Kebiasaan ini membuat nasi dianggap bukan sesuatu yang krusial dan tidak menjadi pilihan utama saat dewasa.

2. Nasi Tidak Memberikan Rasa Kenyang yang Memuaskan
Orang Barat umumnya terbiasa dengan karbohidrat yang lebih berat, seperti kentang panggang, pasta al dente, dan roti gandum yang kaya serat. Berbeda dengan nasi putih yang ringan dan mudah dicerna, jenis karbohidrat tersebut memberikan rasa kenyang lebih lama dan tekstur yang lebih padat. Karena persepsi kenyang ini, nasi sering dianggap kurang memadai sebagai makanan utama.

3. Nasi Dianggap Tidak Praktis untuk Dimasak
Memasak nasi memerlukan teknik khusus seperti pengaturan takaran air, api, dan proses penyerapan air yang tidak sederhana bagi mereka yang terbiasa dengan makanan cepat saji. Dalam kehidupan modern yang serba cepat, pasta, roti, dan kentang lebih populer karena gampang disiapkan hanya dengan merebus, memanggang, atau mengoles. Hal ini membuat nasi terlihat kurang praktis dibandingkan sumber karbohidrat lain.

4. Harga Beras yang Lebih Mahal di Negara Barat
Beras bukan tanaman lokal di banyak negara Barat, sehingga harus diimpor dari Asia. Impor tersebut menjadikan harga beras lebih tinggi dibandingkan pasta, kentang, atau roti yang diproduksi secara massal dan lokal dengan biaya lebih rendah. Menurut data supermarket, harga pasta bisa sekitar 1 dolar per bungkus besar, sementara beras bisa mencapai 3 hingga 6 dolar untuk jumlah yang sama. Faktor harga ini memengaruhi preferensi konsumsi masyarakat.

5. Nasi Lebih Identik dengan Masakan Asia
Nasi memiliki keterkaitan yang kuat dengan masakan Asia, seperti Jepang, China, Thailand, dan Indonesia. Dalam konteks Barat, nasi biasanya diasosiasikan dengan hidangan eksotik seperti sushi, nasi goreng, atau kari nasi yang mayoritas disajikan di restoran Asia. Akibatnya, nasi bukan bagian dari pola makan sehari-hari mereka, melainkan hanya muncul saat ingin menikmati masakan bertema Asia.

6. Tidak Terbiasa dengan Konsep Lauk Pendamping
Orang Asia terbiasa makan nasi bersama berbagai lauk seperti sayur, sup, tumisan, sambal, dan kuah. Sementara di Barat, pola makan lebih sederhana, seperti satu piring makan lengkap yang mengombinasikan protein dan karbohidrat sekaligus, seperti pasta dengan saus, pizza, atau burger. Ketidakbiasaan ini membuat orang Barat rancu dalam memadukan nasi dengan bermacam lauk kecil, sehingga nasi jarang menjadi pilihan utama.

Intinya, jarangnya konsumsi nasi oleh orang bule merupakan hasil dari interaksi budaya, kebiasaan makan sejak kecil, persepsi kenyang, kemudahan memasak, faktor ekonomi, serta identitas makanan. Nasi dianggap eksotik dan lebih melekat pada budaya Asia, bukan bagian inti dari pola makan Barat sehari-hari. Oleh karena itu, nasi kerap muncul sebagai hidangan khusus dan bukan makanan pokok dalam rumah tangga mereka.

Berita Terkait

Back to top button