Gajah di Aceh Bantu Bersihkan Puing Kayu Akibat Banjir, Efektif dan Cepat

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengerahkan empat ekor gajah terlatih untuk membantu membersihkan puing kayu dan lumpur sisa banjir di Pidie Jaya, Aceh. Program ini diinisiasi karena sejumlah wilayah terdampak banjir tidak bisa diakses alat berat sehingga diperlukan metode alternatif yang efektif.

Keempat gajah yang diberi nama Abu, Mido, Ajis, dan Noni ini berasal dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Share. Mereka dibawa bersama para mahout (pawang gajah) untuk membantu membersihkan material kayu yang menyumbat pemukiman warga di Gampong Meunasah Bie, Kecamatan Meurah Dua. Selain membersihkan puing, gajah juga digunakan membuka akses jalan dan membantu evakuasi korban.

Peran Gajah Dalam Penanganan Banjir

Kepala KSDA Wilayah Sigli, Hadi Sofyan menjelaskan bahwa gajah-gajah ini pernah dilibatkan dalam pembersihan pascatsisunami Aceh 2004. Gajah mampu menarik kayu besar dan material berat yang sulit dievakuasi dengan alat mekanis. Selain fungsi teknis, Kapolres Pidie Jaya AKBP Ahmad Faisal Pasaribu menyebut keberadaan gajah juga memberikan dukungan psikologis bagi anak-anak korban banjir.

Sebagai gambaran lebih jelas, berikut peran utama gajah selama operasi pembersihan:

  1. Menarik dan mengangkat gelondongan kayu besar dari area pemukiman.
  2. Mengangkat material berat yang tersangkut di rumah warga.
  3. Membuka akses jalan menuju lokasi terdampak.
  4. Membantu evakuasi korban dan pengiriman bantuan logistik.

Keberhasilan ini membuat BKSDA Aceh siap memperluas penggunaan gajah ke daerah lain setelah dilakukan survei kelayakan dan aksesibilitas.

Kontroversi Penggunaan Gajah untuk Pembersihan

Meski efektif, pemanfaatan gajah ini menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Beberapa pihak mengkritik pemakaian satwa liar sebagai alat pembersih saat bencana. Kritikus menyebut penggunaan gajah bisa membahayakan hewan itu sendiri, apalagi mereka harus melewati kondisi jalan yang penuh lumpur dan sampah kayu.

Salah satu polemik muncul karena banjir bandang di Aceh sebagian disebabkan oleh deforestasi yang juga menghancurkan habitat gajah. Paradox-nya, gajah yang habitatnya terdampak tersebut justru dieksploitasi untuk memperbaiki kerusakan akibat bencana. Bahkan terdapat laporan kematian seekor gajah Sumatera akibat banjir bandang di Pidie Jaya.

Kelompok lingkungan dan aktivis konservasi menyarankan agar upaya tanggap bencana lebih mengutamakan penggunaan alat berat resmi dan melibatkan relawan serta organisasi kemanusiaan. Teknologi geospasial juga bisa membantu memetakan area prioritas agar langkah pembersihan lebih efisien dan minim risiko bagi satwa dan manusia.

Fakta Seputar Gajah yang Diperkerjakan

Gajah, khususnya jenis Sumatera seperti Beauties ini, adalah makhluk pintar dengan kemampuan emosi tinggi. Mereka bisa merasakan kebahagiaan, kesedihan, bahkan stres dan depresi. Sayangnya, pelatihan tradisional yang dilakukan terhadap gajah untuk menjinakkan dan mengendalikan mereka sering melalui metode yang keras dan menyakitkan, dikenal sebagai “phajaan” atau proses menghancurkan jiwa.

Beberapa organisasi konservasi mulai menerapkan metode pelatihan yang lebih positif dan humanis, seperti metode “wortel” yang mengandalkan reward. Namun, praktik tersebut masih belum merata diterapkan.

Selain itu, aktivitas menunggang gajah juga menimbulkan risiko cedera fisik. Posisi duduk di tulang punggung gajah dapat memperburuk kondisi tulang belakang dan organ dalam mereka. Oleh karena itu, atraksi menunggang gajah untuk wisatawan banyak dikritik dari sisi etika dan kesejahteraan hewan.

Penggunaan gajah sebagai alat bantu di Aceh pada dasarnya merupakan solusi darurat untuk situasi sulit. Namun, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyeimbangkan kebutuhan penyelamatan dengan perlindungan terhadap satwa. Kolaborasi multipihak, mulai dari BKSDA, lembaga kemanusiaan, hingga konservasionis, dibutuhkan agar pemulihan lingkungan dan perlindungan habitat bisa berjalan beriringan.

Melibatkan gajah dalam proses pembersihan banjir memberikan contoh unik interaksi manusia dan satwa dalam kondisi krisis. Namun, isu keberlanjutan dan etika ekosistem harus terus menjadi perhatian utama agar tidak menciptakan kerugian lain yang tidak diinginkan. Pengembangan solusi teknologi dan pelibatan sumber daya manusia lebih optimal diharapkan bisa menjadi pilihan masa depan untuk penanganan bencana yang lebih beradab dan bertanggung jawab.

Exit mobile version