
Perang Bosnia 1992–1995 menyisakan luka mendalam bagi Sarajevo, ibu kota yang dikepung pasukan Bosnian-Serb selama hampir empat tahun. Dalam kondisi pengepungan yang brutal, warga sipil menjadi sasaran tembak sniper dari bukit-bukit sekitar kota. Namun yang menggegerkan adalah munculnya dugaan praktik wisata sniper, di mana turis kaya diduga membayar mahal untuk melakukan penembakan warga sipil sebagai hiburan.
Klaim ini mencuat lebih serius setelah rilis film dokumenter Sarajevo Safari pada 2022 oleh sutradara Miran Zupanič. Jurnalis Italia, Ezio Gavazzeni, terinspirasi melakukan penyelidikan lanjutan dan menemukan bukti adanya "tur sniper" dari warga asing. Gavazzeni melaporkan ke Kejaksaan Milan bahwa ratusan turis kaya, khususnya dari Italia, telah membayar milisi Serbia guna mendapatkan akses posisi sniper untuk menembaki warga sipil di medan perang Sarajevo.
Kronologi dan Situasi Perang di Sarajevo
Pengepungan Sarajevo berlangsung dari 5 April 1992 hingga 29 Februari 1996. Selama masa itu, ribuan nyawa melayang oleh tembakan sniper dan artileri. Jalan utama kota, yang dikenal sebagai "Sniper Alley", jadi lokasi paling menakutkan karena rentetan tembakan mematikan dari ketinggian. Infrastruktur penting hancur, seperti kantor pos, jaringan listrik, dan pasokan air, membuat warga hidup dalam ketakutan dan kelaparan.
Konflik ini dipicu ketegangan antar etnis Serbia dan Kroasia. Setelah perjanjian damai Dayton pada 1995, Bosnia dan Herzegovina terbagi menjadi dua entitas politik yang berbeda, yaitu Federasi Bosnia dan Herzegovina, serta Republik Srpska.
Modus "Wisata Sniper": Dari Trieste ke Sarajevo
Wisata sniper diduga beroperasi dengan skema tertentu. Menurut laporan New York Post dan Al Jazeera, para turis kaya berkumpul di kota Trieste setiap Jumat untuk kemudian diterbangkan ke Bosnia. Mereka diberi akses khusus ke pos-pos sniper yang dikendalikan milisi Serbia di bukit-bukit sekitar Sarajevo. Harga yang dipatok mencapai 90 ribu USD atau sekitar 1,5 miliar rupiah.
Sayangnya, target penembakan bukan hanya pria dewasa tetapi juga termasuk anak-anak, yang justru diberi harga tertinggi. Hal ini merefleksikan betapa mengerikannya eksploitasi kekerasan sebagai suatu bentuk "hiburan" yang kejam.
Saksi dan Bukti Pendukung
Laporan Gavazzeni didukung oleh kesaksian mantan petugas intelijen Bosnia, Edin Subašić. Ia membenarkan bahwa intelijen Bosnia memberikan informasi kepada intelijen Italia (SISMI) terkait adanya aktivitas turis sniper sejak 1993. Bahkan menurutnya, akhirnya SISMI menghentikan sementara rute penerbangan dari Trieste ke Sarajevo.
Film dokumenter menunjukkan juga adanya tokoh Rusia, Eduard Limonov, yang tampak difilmkan menembak dari posisi sniper di bukit Sarajevo. Kegiatan itu dianggap sebagai contoh ekstrem dari fenomena wisata perang yang mengerikan.
Namun, klaim ini tidak serta-merta diterima oleh semua pihak. Beberapa mantan personel militer Inggris yang ditempatkan di Sarajevo selama perang menyebut tuduhan ini sebagai "mitos urban". Mereka berargumen bahwa sulit secara logistik membawa turis senjata ke tengah zona perang sehingga fenomena ini dipertanyakan.
Respons Hukum dan Pemerintah Terkait
Kejaksaan Milan, atas laporan Ezio Gavazzeni, membuka kasus dengan tuduhan pembunuhan dengan kekejaman dan motif tercela. Jaksa Alessandro Gobbi memimpin penyelidikan ini. Mantan hakim Guido Salvini dan mantan Walikota Sarajevo Benjamina Karić mendukung upaya hukum demi keadilan korban.
Konsulat Bosnia di Italia bersedia memberikan kerja sama penuh dalam proses penyidikan. Intelijen Italia juga sempat mengambil langkah menghentikan penerbangan yang berhubungan dengan kasus ini.
Dugaan adanya "Safari Sniper Sarajevo" adalah tuduhan serius atas pelanggaran kemanusiaan. Kasus ini menjadi panggilan untuk refleksi mendalam tentang bagaimana konflik dan kekerasan dapat dieksploitasi oleh segelintir orang demi hiburan mahal yang tak berperikemanusiaan. Investigasi masih berlangsung dengan harapan mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi para korban.




