Ironi Hakordia: Silfester Matutina, Si Manusia Kebal Hukum dalam Sorotan Publik

Shopee Flash Sale

Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh setiap 9 Desember tahun ini menjadi sorotan serius terhadap penegakan hukum di Indonesia. Publik dikejutkan dengan kasus Silfester Matutina, seorang terpidana yang vonisnya telah berkekuatan hukum tetap sejak 2019, namun belum juga dieksekusi.

Silfester Matutina adalah Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) yang divonis bersalah atas pencemaran nama baik terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kasus ini berawal dari orasi Silfester pada 2017 yang menuduh Jusuf Kalla menggunakan isu SARA dan mengaitkannya dengan korupsi keluarga demi kepentingan Pilkada DKI Jakarta.

Pada 20 Mei 2019, Mahkamah Agung (MA) menetapkan vonis inkracht bagi Silfester, memperberat hukumannya menjadi satu tahun enam bulan penjara. Vonis ini final dan mengikat, namun anehnya eksekusi pidana tidak pernah dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Pelonggaran hukum terhadap Silfester menimbulkan banyak spekulasi. Mantan Kepala Kejari Jakarta Selatan Anang Supriatna sempat menyatakan bahwa penundaan eksekusi terkait pandemi Covid-19. Namun alasan ini dirasa tak masuk akal, mengingat masa pandemi telah berlalu dan vonis telah final selama bertahun-tahun.

Dalam dinamika kasus ini, Silfester juga mengklaim telah berdamai dengan Jusuf Kalla, walaupun hukum pidana tak mengenal perdamaian sebagai pembatalan eksekusi. Ia bahkan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) meskipun belum menjalani hukuman, sebuah langkah yang menurut hukum pidana tidak lazim dan menciptakan kontroversi.

Sidang PK yang diajukan Silfester sendiri akhirnya dibatalkan setelah dua kali ia mangkir. Sementara itu, pihak yang menuntut keadilan, termasuk tim kuasa hukum Roy Suryo, sudah melaporkan lambatnya proses eksekusi ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Namun, eksekusi tetap mandek hingga kini.

Keanehan penanganan kasus ini menjadi cermin kegagalan penegakan hukum objektif. Pakar hukum Universitas Taruma Negara, Hery Firmansyah, menilai sikap penegak hukum yang tidak menjalankan putusan pengadilan dapat merusak integritas aparat hukum. Menurut Hery, semua pihak harus memegang prinsip hukum yang tegas tanpa pandang bulu.

Ia mengingatkan bahwa lambatnya eksekusi terpidana yang dekat dengan kekuasaan politik bisa menimbulkan persepsi hukum sebagai alat negosiasi kekuasaan. “Ini tentu menjadi dosa jariyah dalam tanda petik,” kata Hery. Ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan sama halnya dengan menentang hukum itu sendiri.

Idealnya, eksekusi vonis harus dilakukan oleh Kejaksaan secara cepat dan tanpa kompromi. Aparat hukum harus bersikap seperti patung dewi keadilan yang matanya tertutup, artinya menilai perkara secara objektif dan bebas dari pengaruh subjektif. Kasus Silfester bisa menjadi preseden buruk jika dibiarkan berlarut.

Kasus ini menjadi refleksi penting menjelang Hari Antikorupsi Sedunia. Ketidaktegakan hukum pada satu kasus kriminal saja dapat memicu krisis kepercayaan terhadap sistem hukum nasional. Jika aparat tidak mengeksekusi putusan MA, maka penegakan hukum semakin dipertanyakan keberpihakan dan profesionalismenya.

Drama hukum yang melibatkan Silfester Matutina menunjukkan kompleksitas relasi antara hukum dan kekuasaan politik. Pertanyaan tentang “manusia kebal hukum” seolah menjadi kenyataan di Republik ini, yang menunjukkan perlunya reformasi penegakan hukum agar tidak ada pihak yang bebas dari konsekuensi hukum.

Seiring masyarakat menanti eksekusi vonis, publik masih mempertanyakan komitmen otoritas hukum dalam menegakkan supremasi hukum secara adil dan tanpa diskriminasi. Perjalanan kasus Silfester Matutina menjadi salah satu ujian besar bagi independensi dan kredibilitas penegak hukum Indonesia.

Baca selengkapnya di: www.suara.com

Berita Terkait

Back to top button