Putusan MK Soal Polisi Aktif Picu Ambiguitas dan Polemik Baru, Apa Dampaknya?

Shopee Flash Sale

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini terkait larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil menimbulkan berbagai reaksi. Putusan tersebut dianggap menimbulkan ambiguitas dan berpotensi memicu polemik yang lebih luas.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof Tongat, mengkritik ketidakjelasan dalam putusan MK Nomor 114/PUU-XII/25. Ia menilai penghapusan frasa "penugasan" tanpa diiringi norma yang baru dan eksplisit menyebabkan bingungnya publik.

Prof Tongat menjelaskan, MK hanya membatalkan sebagian frasa tanpa memberikan batasan tegas mengenai jabatan apa saja yang boleh diisi anggota Polri selain jabatan dalam struktur kepolisian. “Putusan ini tidak jelas dan bersifat ambigu,” tuturnya saat diwawancara.

Menurut dia, putusan MK membuka ruang bagi berbagai tafsir yang bisa bertentangan satu sama lain. Hal ini berpotensi menimbulkan polemik baru dalam penempatan anggota Polri di luar lingkungan kepolisian.

Peluang Tafsir Baru dan Risiko Tumpang Tindih Kewenangan

MK menegaskan bahwa anggota Polri aktif harus mengundurkan diri atau pensiun untuk dapat mengisi jabatan sipil di luar kepolisian. Namun, kalimat yang dihapus dalam putusan membuka kemungkinan interpretasi sebaliknya.

Dengan redaksi saat ini, masih ada peluang bagi anggota Polri aktif untuk menempati jabatan yang terkait langsung dengan fungsi kepolisian tanpa harus mengundurkan diri. “Di sinilah masalahnya,” kata Prof Tongat.

Beberapa lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan institusi penegak hukum lain memiliki irisan kuat dengan fungsi kepolisian. Penempatan anggota Polri di lembaga-lembaga tersebut perlu aturan yang tegas agar tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

Pakar hukum ini menegaskan bahwa kepastian hukum adalah hal mutlak dalam putusan MK. Jika interpretasi putusan memungkinkan multi tafsir, maka nilai konstitusionalitasnya bisa dipertanyakan.

Prof Tongat menilai MK semestinya mengeluarkan putusan yang lebih komprehensif disertai norma pengganti yang jelas. Hal ini penting guna menjaga profesionalitas dan akuntabilitas Polri dalam setiap penempatan jabatan.

Pakar juga mendorong pemerintah bersama DPR untuk segera melakukan revisi atau penyempurnaan regulasi terkait. Tujuannya agar penempatan anggota Polri di luar struktur kepolisian sesuai dengan prinsip profesionalisme dan akuntabilitas.

Berikut beberapa poin penting terkait putusan MK dan dampaknya:

  1. Putusan menghapus frasa “penugasan” dalam regulasi jabatan sipil anggota Polri aktif.
  2. MK tidak memberi norma pengganti agar batasan jabatan lebih jelas.
  3. Penafsiran baru yang memungkinkan anggota Polri aktif mengisi jabatan terkait kepolisian tanpa mengundurkan diri.
  4. Potensi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga penegak hukum lain.
  5. Pemerintah dan DPR didorong menyusun aturan yang lebih rinci dan jelas.

Perdebatan soal posisi anggota Polri dalam jabatan sipil telah berlangsung lama. Putusan MK ini menambah bab baru yang harus segera direspons oleh pembuat kebijakan. Kepastian hukum yang kuat sangat dibutuhkan untuk mencegah konflik antar lembaga dan menjaga integritas penegakan hukum.

Sampai saat ini, belum ada tanda bahwa pemerintah dan DPR akan segera mengeluarkan revisi regulasi terkait. Sehingga, polemik dan ambiguitas putusan MK kemungkinan besar masih akan menjadi topik hangat di masa mendatang.

Prof Tongat pun mengingatkan bahwa profesionalisme Polri harus dijaga agar tidak tercampur-aduk oleh kepentingan politik atau birokrasi yang bisa melemahkan tugas pokok kepolisian.

Publik dan pengamat hukum berharap putusan ini menjadi momentum bagi reformasi regulasi yang memberikan kejelasan dan kepastian hukum. Hal ini krusial demi mendukung efektivitas lembaga penegak hukum dan sistem pemerintahan yang bersih dan profesional.

Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com

Berita Terkait

Back to top button