Walhi Sumut Sebut 7 Perusahaan Penyebab Utama Banjir Besar di Tapanuli

Shopee Flash Sale

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menyatakan bahwa tujuh perusahaan menjadi penyebab utama banjir bandang dan longsor di wilayah Tapanuli. Bencana hidrometeorologi yang terjadi sejak 25 November 2024 ini melanda delapan kabupaten/kota di Sumatera Utara.

Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah menjadi daerah paling parah terdampak dengan kerusakan ribuan rumah dan lahan pertanian. Puluhan ribu warga terpaksa mengungsi dan kegiatan ekonomi lumpuh di 51 desa yang tersebar di 42 kecamatan.

Kerusakan di Ekosistem Harangan Tapanuli
Walhi menyorot kawasan Ekosistem Harangan Tapanuli atau Batang Toru yang meliputi Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga sebagai wilayah paling terdampak. Kawasan ini merupakan hutan tropis yang berfungsi sebagai penyimpan air dan penyangga banjir serta bagian penting bentang alam Bukit Barisan.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, tujuh perusahaan yang beroperasi di sekitar Batang Toru telah merusak tutupan hutan secara signifikan. Eksploitasi tersebut menyebabkan degradasi ekosistem, gangguan daerah aliran sungai, dan melemahkan fungsi perlindungan alam sehingga memperparah bencana banjir di Sumatera Utara.

Identitas Perusahaan dan Aktivitasnya
Perusahaan-perusahaan yang menjadi sorotan adalah perusahaan tambang emas, proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA), geothermal, serta perkebunan industri dan sawit. Aktivitas mereka merusak habitat satwa langka seperti orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, tapir, dan sejumlah spesies endemik lainnya.

Data Walhi menunjukkan bahwa sepanjang periode 2015 hingga 2024 terjadi pembukaan lahan besar-besaran untuk tambang, pembangunan infrastruktur energi, dan konversi hutan menjadi PLTMH serta area perkebunan. Ini mengakibatkan hilangnya ratusan hektare hutan Batang Toru.

Dampak Lingkungan dan Risiko Banjir
Kerusakan hutan tersebut memicu sedimentasi sungai yang parah dan fluktuasi debit air secara ekstrem. Akibatnya, risiko banjir bandang dan longsor meningkat drastis. Setiap kejadian banjir selalu membawa gelondongan kayu dan air keruh yang mengalir deras turun ke kawasan permukiman dan pertanian.

Rianda menegaskan bahwa bencana ini bukan semata-mata karena faktor alam. "Ini konsekuensi dari pembiaran terhadap perusakan hutan yang dilakukan oleh berbagai pihak," jelasnya.

Desakan Walhi kepada Pemerintah
Walhi mendesak pemerintah segera mengambil langkah tegas dengan menghentikan aktivitas industri ekstraktif di wilayah Batang Toru. Mereka meminta pencabutan izin operasi perusahaan yang merusak lingkungan dan penindakan hukum terhadap para pelaku perusakan hutan.

Selain itu, Walhi meminta pemerintah memasukkan perlindungan kawasan Batang Toru dalam kebijakan tata ruang nasional dan daerah. Hal ini penting untuk menjaga fungsi ekosistem sebagai penyangga bencana dan habitat satwa dilindungi.

Pemenuhan Kebutuhan Penyintas dan Pencegahan Bencana
Walhi juga menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar bagi para penyintas banjir dan longsor. Organisasi ini mengingatkan perlunya pemetaan wilayah rawan bencana secara komprehensif untuk mengurangi risiko kejadian serupa di masa depan.

Penting bagi seluruh pihak untuk memperhatikan pelestarian hutan dan penghentian aktivitas yang merusak lingkungan demi mencegah bencana hidrometeorologi semakin parah di Sumatera Utara.

Baca selengkapnya di: mediaindonesia.com

Berita Terkait

Back to top button