Penjualan Mobil Turun, Insentif Mobil Hybrid Dianggap Solusi Dongkrak Industri Otomotif

Penjualan mobil domestik Indonesia mengalami penurunan sebesar 10,6% hingga Oktober 2025. Kondisi ini memicu pemerintah dan pelaku industri untuk mencari solusi, salah satunya dengan memperkuat insentif bagi mobil hybrid yang diproduksi lokal.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah menyusun kebijakan insentif baru untuk sektor otomotif dengan tujuan menggairahkan kembali pasar dan mendukung perkembangan industri ramah lingkungan. Insentif dianggap sangat penting mengingat efek berganda otomotif terhadap ekonomi nasional.

Kesenjangan Insentif Antara Kendaraan Hybrid dan BEV

Saat ini, kendaraan listrik berbasis baterai atau BEV mendapatkan insentif fiskal yang jauh lebih besar daripada mobil hybrid. BEV lokal mendapat fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 10% dan pembebasan PPnBM, serta bebas pajak daerah, sehingga tarif pajaknya bisa sangat rendah. Sebaliknya, HEV hanya mendapat diskon PPnBM 3% yang akan berakhir akhir tahun dan masih membayar PPN serta pajak daerah secara penuh.

Selain itu, BEV impor dalam skema tes pasar juga menikmati pembebasan bea masuk sebesar 50% hingga akhir 2025. Kesenjangan ini dianggap tidak seimbang dan perlu evaluasi agar insentif benar-benar mendorong pertumbuhan industri otomotif ramah lingkungan secara adil.

Peluang dan Tantangan Industri Hybrid Lokal

Riyanto, peneliti dari LPEM FEB UI, mengungkapkan bahwa insentif untuk kendaraan hybrid saat ini belum adil jika dilihat dari kontribusi terhadap pengurangan emisi dan nilai kandungan lokal. “Segmen ini perlu kebijakan yang lebih fair dengan basis reduksi emisi dan TKDN,” ujarnya.

Banyak produsen telah memproduksi model hybrid secara lokal, seperti Honda HR-V e:HEV di Karawang dan Wuling Almaz Hybrid di Bekasi. Toyota juga menghadirkan New Veloz HEV dengan TKDN lebih dari 80% dan beberapa model hybrid lainnya sudah diproduksi sejak 2022.

Produksi lokal ini menyerap ribuan tenaga kerja mulai dari lini perakitan hingga rantai pasok komponen. Aktivitas tersebut mendorong perputaran ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan baru, sehingga pemerintah didorong untuk memberikan insentif yang lebih berimbang bagi kendaraan hybrid.

Prospek Pasar Kendaraan Hybrid dan BEV Tahun 2026

Riyanto memproyeksikan bahwa pasar HEV akan lebih baik pada 2026, terutama setelah insentif untuk BEV impor utuh (CBU) berakhir. Dengan hilangnya insentif untuk BEV CBU, permintaan untuk kendaraan hybrid dan BEV produksi lokal diperkirakan meningkat.

Menurutnya, pasar BEV dan hybrid akan terbagi secara geografis; BEV lebih cocok untuk konsumen di perkotaan yang memiliki akses ke Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), sedangkan hybrid lebih potensial diterima di daerah dan luar Jawa yang infrastruktur listriknya belum merata.

Pentingnya Insentif dan Dukungan Fiskal bagi Kendaraan Hybrid

Pengamat otomotif Bebin Djuana menegaskan pentingnya perhatian fiskal lebih besar bagi mobil hybrid agar lebih mendorong pengurangan emisi sekaligus penghematan BBM. Pajak untuk hybrid sebaiknya dikurangi agar konsumen tertarik dan produsen terdorong menghadirkan model terbaru.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan bahwa sektor otomotif memberikan multiplier effect besar bagi serapan tenaga kerja dan kontribusi manufaktur. Kemenperin sedang merancang usulan insentif fiskal untuk 2026 yang akan fokus pada perlindungan tenaga kerja dan menjaga investasi industri.

Pelaku industri optimistis jika kebijakan insentif untuk mobil hybrid diperkuat dan dilanjutkan, sektor otomotif nasional akan kembali bergairah. Usulan ini diharapkan dapat menjadi kunci dalam memulihkan industri otomotif sekaligus mendukung transformasi industri menuju kendaraan ramah lingkungan.

Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com
Exit mobile version