Organisasi Kerja Sama Digital (Digital Cooperation Organisation/DCO) menyoroti perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI) yang kini mengubah arah pembangunan global secara signifikan. Direktur Jenderal DCO, Hajar El Haddaoui, menyampaikan bahwa AI telah berevolusi dari sekadar alat analisis data menjadi teknologi yang mampu menciptakan dan bertindak secara mandiri.
Hajar mengingatkan pentingnya desain teknologi AI yang berpusat pada manusia. Hal ini agar AI tetap bertanggung jawab dan melayani kepentingan umat manusia secara optimal. Ia menegaskan bahwa kendali penuh harus tetap ada di tangan manusia agar teknologi tidak mengambil alih keputusan hidup manusia.
Dalam menghadapi adopsi AI yang cepat oleh pemerintah di berbagai negara, Hajar menekankan perlunya regulasi berbasis risiko. Regulasi ini berfungsi menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan publik. Pendekatan berbasis risiko memastikan aspek etika, tanggung jawab, dan keselamatan masyarakat tidak terabaikan.
Penerapan tata kelola AI yang berlandaskan prinsip etika menjadi upaya penting agar standar teknologi dapat diselaraskan lintas kawasan. Hal ini bertujuan agar implementasi AI pun relevan dan konsisten bagi generasi mendatang. Pemerintah diimbau untuk mengadopsi praktik terbaik dalam mengatur teknologi berbasis risiko.
Sebagai salah satu ekonomi digital dengan pertumbuhan cepat di Asia Tenggara, Indonesia menjadi perhatian khusus DCO. Hajar mengidentifikasi tiga pilar utama agar pertumbuhan ekonomi digital Indonesia dapat berlangsung inklusif dan berkelanjutan.
Pilar pertama adalah investasi pada konektivitas dan infrastruktur digital. Ini menjadi fondasi vital dalam pengembangan teknologi baru yang mendukung transformasi digital nasional. Pilar kedua menitikberatkan pada pengembangan keterampilan dan kapasitas sumber daya manusia.
Hajar menegaskan bahwa banyak negara sudah memiliki teknologi tetapi kekurangan talenta yang memadai. Oleh karena itu, investasi pada pengembangan keterampilan menjadi faktor penentu keberhasilan transformasi digital. Pilar ketiga adalah penguatan tata kelola dan pengadopsian praktik terbaik regulasi berbasis risiko.
Selain itu, kolaborasi lintas sektor melalui pendekatan triple P—pemerintah, sektor swasta, dan sektor publik—ditekankan sebagai kunci untuk memastikan manfaat ekonomi digital dapat dinikmati secara merata. Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan kesenjangan konektivitas dan keterampilan digital antara wilayah perkotaan dan daerah terpencil.
Menurut analisis Digital Economy Navigator DCO terhadap lebih dari 80 negara, keterbatasan talenta menjadi risiko utama yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia. Tantangan ini sebenarnya merupakan peluang untuk memperkuat kemitraan dengan institusi akademik dan pusat pembelajaran daring nasional.
Hajar juga mendorong pembangunan jalur talenta lintas negara anggota DCO sebagai strategi percepatan pengembangan keterampilan dan kapasitas. Pendekatan ini diharapkan mampu menjembatani kesenjangan digital antarwilayah di Indonesia. Melalui langkah-langkah tersebut, transformasi digital tidak hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperkuat inklusivitas dan keberlanjutan pembangunan.
Organisasi Kerja Sama Digital sendiri didirikan pada tahun 2020 di sela-sela forum G20 dengan kantor pusat di Riyadh, Arab Saudi. Keberadaan DCO menjadi platform strategis dalam mendorong kolaborasi dan tata kelola AI di tingkat global. Dengan demikian, perkembangan AI akan terus diikuti dengan upaya pengaturan yang bijak demi manfaat bersama.
Baca selengkapnya di: teknologi.bisnis.com





