Tubuh manusia bereaksi terhadap stres modern seolah-olah terus-menerus terancam bahaya. Namun, stres yang dialami bukan karena kelemahan individu, melainkan karena ketidaksesuaian antara lingkungan hidup masa kini dengan biologi manusia yang berevolusi di alam.
Dua antropolog evolusioner, Colin Shaw dari University of Zurich dan Daniel Longman dari Loughborough University, menelaah berbagai bukti ilmiah lintas disiplin. Mereka menyimpulkan bahwa tubuh manusia secara biologis paling sesuai dengan lingkungan alami, bukan lingkungan urban yang padat dan bising.
1. Penyebab stres di dunia modern yang tidak pernah berhenti
Manusia purba menghadapi stres singkat dan terukur, seperti ancaman predator yang jelas. Tubuh merespons dengan reaksi fight-or-flight yang intens, lalu pulih setelah bahaya berlalu.
Colin Shaw menjelaskan, “Dalam keadaan leluhur, manusia mampu mengatasi stres akut untuk menghindari predator,” namun kunci keberhasilan adalah setelah ancaman itu hilang dan tubuh dapat pulih. Sayangnya, pola tersebut berubah drastis di dunia modern.
Kini stres datang secara terus menerus, dari email yang menumpuk, suara bising konstruksi, hingga tekanan deadline. Kondisi ini menyebabkan sistem tubuh tetap siaga tanpa jeda, berbeda dengan respons yang dulu hanya aktif sesaat.
Berbagai pemicu stres modern yang berkepanjangan ini berdampak negatif. Studi menunjukkan penurunan fungsi kognitif, gangguan sistem imun, penurunan kesuburan, dan kondisi fisik yang lebih buruk khususnya di area urban. Polusi udara bahkan terbukti merusak otak serta melemahkan sistem kekebalan tubuh.
2. Sistem stres yang terus aktif tanpa jeda
Tubuh manusia tidak dapat membedakan ancaman fisik dan sosial secara tuntas. Konflik interpersonal, tekanan pekerjaan, dan kebisingan lalu lintas tetap memicu respons stres yang sama kuatnya dengan ancaman biologis.
Akibatnya, sistem saraf dan hormon stres terus bekerja tanpa adanya fase pemulihan. Ketegangan yang tidak pernah turun membuat stres berubah menjadi kronis dan berdampak negatif secara kumulatif pada kesehatan.
Faktor lain yang memperparah stres antara lain paparan cahaya buatan, mikroplastik, dan gaya hidup sedentari yang mengurangi aktivitas fisik. Semua ini bekerja bersama-sama merusak mekanisme tubuh yang seharusnya bisa pulih setelah stres.
3. Alam sebagai ruang pemulihan tubuh manusia
Meski hidup di era modern penuh tekanan, alam tetap memegang peranan penting. Banyak penelitian membuktikan bahwa waktu yang dihabiskan di ruang hijau atau sekadar melihat pemandangan alami meningkatkan kesehatan fisik dan mental.
Dari perspektif evolusi, tubuh manusia memang paling optimal berada di lingkungan alami. Shaw dan Longman mengusulkan perlunya pelestarian ruang hijau terutama di kawasan perkotaan serta perlindungan lanskap alam yang tersisa.
Ruang publik yang memungkinkan individu untuk berhenti sejenak dan melepaskan tekanan harian sangat dianjurkan. Hal ini penting untuk membantu sistem saraf mendapat waktu istirahat dan menurunkan respons stres yang terus menerus aktif.
Penelitian ini menegaskan bahwa stres modern sebenarnya merupakan manifestasi dari ketidaksesuaian lingkungan dengan biologi manusia. Mengembalikan keseimbangan melalui interaksi dengan alam menjadi salah satu cara efektif menjaga kesehatan fisik dan mental di zaman serba cepat ini.
Referensi:
Longman, Daniel P., dan Colin N. Shaw. “Homo Sapiens, Industrialisation and the Environmental Mismatch Hypothesis.” Biological Reviews/Biological Reviews of the Cambridge Philosophical Society, November.
"Into the Woods". University of Zurich.





