Penemuan kembali bunga langka Rafflesia hasseltii di kawasan hutan Sumatera Barat pada bulan lalu menjadi sorotan dunia ilmiah. Kejadian ini memicu perdebatan mengenai nama ilmiah bunga tersebut yang selama ini diasosiasikan dengan tokoh kolonial Inggris, Thomas Stamford Raffles.
Nama genus Rafflesia sebenarnya diberikan untuk menghormati Raffles yang menjabat sebagai letnan gubernur pada masa kolonial Inggris di wilayah Asia Tenggara. Namun, kini muncul seruan dari para ilmuwan dan aktivis untuk mengganti nama tersebut. Mereka menilai penggunaan nama kolonial dapat mengabaikan konteks sejarah dan pengetahuan lokal tentang tanaman ini.
Latar Belakang Penamaan Ilmiah Rafflesia hasseltii
Rafflesia pertama kali tercatat dalam literatur Barat pada 1818 ketika naturalis Inggris Joseph Arnold menemukan bunga tersebut di Bengkulu, Sumatera. Nama genus Rafflesia mengabadikan nama Raffles, sementara spesies Rafflesia arnoldii dinamai untuk mengenang Arnold. Spesies Rafflesia hasseltii sendiri diberikan untuk menghormati ahli botani Belanda Arend Ludolf van Hasselt.
Di Indonesia, Rafflesia dikenal dengan berbagai nama lokal sesuai daerah dan bahasa masing-masing. Di Sumatera Barat, masyarakat menyebut bunga ini sebagai cendawan muka rimau. Hal ini menunjukkan adanya kearifan lokal yang tersimpan jauh sebelum nama ilmiah kolonial melekat.
Alasan Seruan Penggantian Nama
Para peneliti menyoroti rekam jejak Thomas Stamford Raffles yang kontroversial, termasuk praktik kekerasan dan pemaksaan selama masa kolonial Inggris di Asia Tenggara. Sejarawan lingkungan Luthfi Adam menyatakan bahwa penamaan ilmiah pada masa kolonial sering kali dibuat untuk menghormati penyandang dana ekspedisi, tetapi proses ini dapat menghapuskan warisan lokal.
Profesor ekologi dan biogeografi dari Auckland University of Technology, Lennard Gillman, menambahkan bahwa nama tersebut tidak hanya bersifat simbolis tapi juga memiliki konotasi yang merugikan. Gillman secara tajam menyatakan, “Pada dasarnya, seperti tanaman yang dinamai atas namanya, dia berbau busuk.” Ucapan ini menggambarkan ketidakcocokan antara makna nama dengan nilai historisnya.
Dampak dan Implikasi Peninjauan Nama Ilmiah
Penggantian nama ilmiah sebuah spesies tidak hanya berkaitan dengan aspek sejarah, tetapi juga berimplikasi terhadap pengakuan budaya dan pelestarian ilmu pengetahuan lokal. Dalam konteks global, lebih dari 40 spesies Rafflesia tersebar di wilayah Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina dengan nama ilmiah yang sama.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Joko Witono, bersama ahli biologi dari Universitas Oxford, menekankan pentingnya pengakuan terhadap pengetahuan lokal dan tradisi yang beragam seputar bunga Rafflesia. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa diskusi penggantian nama menjadi relevan di era kekinian.
Proses Menuju Nama yang Lebih Sensitif dan Bermakna
Diskusi ini menempatkan komunitas ilmiah pada posisi untuk meninjau ulang warisan kolonial dalam penamaan taksonomi. Pendekatan ini mengedepankan kepekaan terhadap sejarah, konteks budaya, dan etika penamaan. Penggantian nama menjadi cara memperbaiki kebijakan lama yang kurang memperhatikan nilai-nilai kedaerahan dan penghormatan terhadap lingkungan hidup.
Berbagai pihak berharap penemuan kembali Rafflesia hasseltii menjadi momentum untuk melakukan refleksi kolektif atas warisan penamaan ilmiah. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk memperkuat literatur ilmiah sekaligus menghargai tradisi lokal yang telah lama memelihara keberadaan bunga raksasa tersebut di alam.
Dengan adanya perdebatan ini, publik dan komunitas ilmiah diharapkan lebih peduli terhadap aspek sejarah dan budaya di balik nama-nama ilmiah. Proses perubahan nama ini juga mencerminkan kesadaran global akan pentingnya keadilan sejarah dan penghormatan terhadap keanekaragaman hayati di masa depan.
Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com




