Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjadi sorotan publik setelah komentarnya mengenai bantuan kemanusiaan dari Malaysia untuk korban banjir di Aceh menuai kontroversi. Pernyataan Tito yang menitikberatkan nilai finansial bantuan dianggap merendahkan niat baik Malaysia dan memicu reaksi negatif di media sosial.
Dalam sebuah wawancara di kanal YouTube ‘Suara Lokal Mengglobal’ pada 13 Desember 2025, Tito menjelaskan prosedur birokrasi penerimaan bantuan internasional. Ia menekankan bahwa setiap bantuan perlu melalui kurasi ketat oleh Kementerian Luar Negeri untuk memastikan urgensi dan efektivitasnya.
Tito juga memaparkan bahwa nilai bantuan obat-obatan dari Malaysia kurang dari Rp1 miliar, sementara anggaran pemerintah Indonesia untuk penanganan bencana jauh lebih besar. Pernyataan ini bertujuan menjaga citra Indonesia agar tidak terkesan bergantung pada bantuan luar negeri yang nominalnya kecil.
Mendagri mengungkapkan kekhawatirannya soal persepsi dunia yang bisa menganggap Indonesia tidak mampu menangani krisis sendiri. "Jangan sampai nanti image-nya seolah dapat bantuan dari negara lain, padahal nilainya tidak seberapa dibanding dengan kemampuan kita," ujarnya.
Reaksi Negatif dari Publik Malaysia
Komentar Tito memancing kekecewaan warga Malaysia yang menganggap pernyataan tersebut tidak peka terhadap semangat kemanusiaan. Banyak pengguna media sosial di Negeri Jiran menilai bantuan harus dilihat sebagai bentuk solidaritas, bukan sekadar angka materi.
Di platform X (sebelumnya Twitter), banyak cuitan menyayangkan kurangnya rasa terima kasih dari pejabat Indonesia. Salah satu warganet menulis, “Bantuan kemanusiaan ada untuk meringankan situasi, bukan untuk memperbaiki segalanya.” Ungkapan serupa diikuti dengan desakan agar Tito mengapresiasi bantuan yang diberikan.
Situasi ini bahkan memicu seruan di platform Threads agar Mendagri dilarang masuk ke Malaysia sebagai bentuk protes atas pernyataannya. Mereka menilai pernyataan itu menghina ketulusan rakyat Malaysia yang ingin membantu korban bencana.
Respons Netizen Indonesia
Tidak hanya Malaysia, netizen Indonesia juga menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap komentar Mendagri. Banyak yang merasa pernyataan tersebut tidak mencerminkan budaya nusantara yang menghargai solidaritas dan rasa syukur.
Menurut laporan The Rakyat Post, sejumlah warga Indonesia yang aktif di media sosial justru meminta maaf kepada Malaysia atas sikap pejabat mereka. Mereka mengapresiasi bantuan Malaysia dan merasa malu karena sikap pejabat pemerintah yang meremehkan bantuan tersebut.
Fenomena ini mengindikasikan adanya jarak antara elit pemerintahan dengan masyarakat luas dalam menangani isu kebijakan kemanusiaan. “Sejumlah warga Indonesia merasa malu dan meminta maaf kepada warga Malaysia atas pernyataannya,” tulis laporan tersebut.
Klarifikasi dan Upaya Meredam Ketegangan
Menanggapi polemik, Tito Karnavian akhirnya memberikan klarifikasi. Ia menegaskan tidak bermaksud mengecilkan niat baik Malaysia dan sangat menghormati rakyat Malaysia yang telah memberikan bantuan. Pernyataan ini diharapkan dapat meredakan ketegangan diplomatik di kalangan masyarakat kedua negara.
Kasus ini menggambarkan betapa pentingnya komunikasi yang tepat dan sensitif dalam mengelola isu bantuan kemanusiaan, terutama antar negara tetangga dengan hubungan yang erat. Ketelitian memilih kata di ruang publik menjadi kunci agar solidaritas dan niat baik tidak berubah menjadi polemik.
Berikut rangkuman peristiwa penting terkait kontroversi Mendagri Tito Karnavian dan bantuan Malaysia:
- Tito membahas prosedur kurasi bantuan internasional dalam wawancara online.
- Dia menyebut nilai bantuan Malaysia kurang dari Rp1 miliar, dianggap kecil dibanding anggaran Indonesia.
- Warga Malaysia merasa tersinggung karena penilaian tersebut dianggap meremehkan bantuan.
- Netizen Indonesia meminta maaf dan mengapresiasi bantuan Malaysia.
- Tito kemudian mengklarifikasi dan menyatakan hormat kepada rakyat Malaysia.
Peristiwa ini menjadi pelajaran diplomasi publik bahwa bantuan kemanusiaan harus diapresiasi dengan penuh empati dan komunikasi yang tidak menimbulkan salah paham di masyarakat kedua negara. Solidaritas di masa bencana sebaiknya selalu diprioritaskan dan dihargai tanpa menyentuh sensitifitas nilai materi semata.
Baca selengkapnya di: www.suara.com





