
Sebuah laporan terbaru mengungkap bahwa sekitar 600 pusat data di dunia berada di wilayah dengan suhu tahunan yang melebihi batas ideal operasi mereka. Kondisi ini menimbulkan tantangan signifikan dalam menjaga suhu perangkat tetap stabil dan efisien.
Pusat data idealnya beroperasi pada suhu antara 18 hingga 27 derajat Celsius. Jika suhu melebihi batas ini, biaya pendinginan meningkat drastis, sistem listrik rawan kelebihan beban, dan dampak polusi menjadi lebih besar.
Analisis terhadap hampir 8.800 pusat data aktif di seluruh dunia menunjukkan bahwa semua pusat data di 21 negara berada di zona terlalu panas. Negara-negara seperti Singapura, Thailand, Nigeria, dan Uni Emirat Arab menjadi contoh wilayah dengan tantangan ini.
Laura Schwartz, analis senior di Verisk Maplecroft, menyatakan bahwa pendinginan pusat data sangat sulit di daerah terpanas dunia yang saat ini tengah berkembang pesat sebagai hub teknologi. Singapura menghadapi situasi yang sangat sulit dengan 72 pusat data yang seluruhnya beroperasi di suhu di luar batas kenyamanan.
PS Lee dari National University of Singapore menyebut bahwa secara termal, kondisi Singapura seperti musim panas puncak yang berlangsung terus-menerus bagi pusat data. Hal ini membuat pengelolaan suhu dan konsumsi energi menjadi lebih rumit.
Konsumsi listrik global pusat data diperkirakan mencapai 415 terawatt-jam pada tahun ini, sekitar 1,5% dari konsumsi listrik dunia. International Energy Agency memperkirakan angka ini bisa meningkat dua kali lipat sebelum akhir dekade karena permintaan untuk kecerdasan buatan (AI) meningkat pesat.
AI menjadi faktor utama peningkatan ini. Walaupun AI membantu mengoptimalkan penggunaan energi bersih dan efisiensi industri, kebutuhan komputasi yang sangat besar menyebabkan peningkatan jumlah pusat data dan kebutuhan pendinginan yang intensif.
Jika pusat data terus dibangun di lokasi panas tanpa solusi pendinginan yang inovatif, beban pada jaringan listrik lokal dan pasokan air tawar akan semakin memburuk. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya menjadi isu kritis yang harus segera diatasi.
Beberapa perusahaan teknologi mulai mengimplementasikan inovasi untuk mengurangi panas berlebih. Google menggunakan perangkat lunak DeepMind yang berhasil menurunkan konsumsi listrik untuk pendinginan hingga 40%. Microsoft mengembangkan chip dengan saluran mikroskopis yang memungkinkan cairan mendingin langsung pada prosesor.
Amazon juga mengadopsi sistem pendingin berbasis cairan yang mampu mengurangi energi yang dibutuhkan mesin pendingin hampir setengahnya. Di Singapura, pemerintah mewajibkan pusat data untuk menurunkan penggunaan listrik dan air secara signifikan.
Penelitian terbaru juga mencakup metode baru, seperti merendam server dalam cairan khusus dan memasang pipa pendingin langsung ke chip. Pendekatan ini dapat mengurangi kebutuhan listrik hingga 40% dan signifikan menghemat penggunaan air tawar.
Selain itu, beberapa perusahaan di Tiongkok dan Timur Tengah mulai mempertimbangkan membangun pusat data bawah tanah sebagai cara untuk tetap menjaga suhu rendah. Strategi ini diharapkan dapat mengatasi kendala suhu tinggi sekaligus menghemat energi.
Menghadapi kondisi suhu yang meningkat, perkembangan teknologi pendingin dan regulasi ketat menjadi kunci utama bagi operasional pusat data di masa depan. Upaya tersebut bertujuan menjaga efisiensi energi sekaligus meminimalkan dampak lingkungan yang semakin berat.





