Karya Berbasis Kecerdasan Buatan, Milik Siapa?
Di era kecerdasan buatan (AI), muncul pertanyaan penting mengenai kepemilikan karya yang dihasilkan. Apakah karya yang diciptakan oleh AI bisa memiliki hak cipta dan siapa yang berhak disebut pencipta?
DIREKTORAT Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menggelar webinar "Karya Berbasis Kecerdasan Buatan, Milik Siapa?" pada 17 November 2025. Webinar ini membahas tuntas isu hukum dan regulasi hak cipta terkait karya yang berasal dari AI.
Hak Cipta dan Orisinalitas Karya AI
Ari Juliano, praktisi hukum dari Assegaf Hamzah & Partners, menjelaskan bahwa dalam hukum Indonesia, hak cipta mensyaratkan unsur orisinalitas dan kreativitas manusia. AI sendiri tidak memiliki inspirasi atau imajinasi seperti manusia. Oleh sebab itu, karya yang dihasilkan sepenuhnya oleh AI tanpa campur tangan manusia penting tidak memenuhi syarat penciptaan.
Dalam berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, dan China, karya AI murni juga tidak dapat dilindungi hak cipta kecuali ada kontribusi kreatif manusia yang signifikan. Contohnya, di China pengadilan mengakui hak cipta karya AI jika ada pengarahan intensif oleh manusia.
Uji 4 Langkah untuk Menentukan Hak Cipta
Ari Juliano memperkenalkan "Uji 4 Langkah" untuk menilai orisinalitas karya berbasis AI, yaitu:
- Apakah manusia membuat rancangan atau prompt untuk AI?
- Apakah manusia melakukan koreksi atau pengeditan pada hasil AI?
- Apakah karya tersebut masuk dalam kategori seni, sastra, atau ilmu pengetahuan?
- Apakah karya menunjukkan sifat khas dan personal dari manusia pembuatnya?
Jika keempat syarat ini terpenuhi, karya dapat dikategorikan sebagai AI-assisted dan berhak atas perlindungan hak cipta.
Posisi Hukum AI dan Manusia sebagai Pencipta
Menurut Achmad Iqbal Taufiq dari DJKI, hukum saat ini hanya mengakui manusia dan badan hukum sebagai subjek pencipta. AI dianggap sebagai objek hukum dan tidak bisa menjadi pencipta. Karya yang sepenuhnya dihasilkan AI tanpa kontribusi manusia otomatis masuk domain publik tanpa perlindungan hak cipta.
Namun, jika ada kontribusi kreatif manusia yang signifikan, seperti melalui prompt kompleks, kurasi, dan pengeditan, manusia tersebut dapat dianggap sebagai pencipta karya tersebut.
Vacuum Norm Regulasi Hak Cipta AI
Regulasi hak cipta di Indonesia belum mengakomodasi dengan jelas teknologi AI generatif. UU Hak Cipta Tahun 2014 belum mengatur status kepemilikan karya AI maupun tanggung jawab hukum jika terjadi pelanggaran. DJKI mendorong agar proses kreatif yang melibatkan manusia didokumentasikan sebagai bukti kontribusi untuk perlindungan hak cipta.
Risiko Pelanggaran Hak Cipta dari Data Latihan AI
Salah satu isu krusial adalah penggunaan data berhak cipta tanpa izin dalam pelatihan model AI. Banyak model menggunakan karya yang terdapat di internet sebagai bahan latihan tanpa izin pemiliknya. Ini berpotensi menciptakan pelanggaran hak penggandaan dan penciptaan karya turunan ilegal.
Pemahaman Masyarakat dan Regulasi ke Depan
Webinar DJKI ini bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak cipta di era AI. Diskusi ini penting untuk mendorong regulasi yang responsif terhadap perkembangan teknologi, agar hak pencipta dan keamanan hukum dapat terjaga dengan seimbang di masa depan.
Memahami siapa pemilik karya berbasis AI sangat penting bagi pelaku kreatif dan industri. Dengan kontribusi manusia yang jelas, karya AI dapat mendapatkan perlindungan hukum yang layak. Namun, tanpa kejelasan regulasi, tantangan hukum dan etika masih terbuka lebar di ekosistem karya AI.
Baca selengkapnya di: mediaindonesia.com





