Pasar Bitcoin saat ini menunjukkan karakter yang berbeda dibanding beberapa tahun terakhir. Kehadiran investor institusional dan produk seperti ETF kripto mengubah pola permintaan secara signifikan.
Dinamika harga Bitcoin kini dipengaruhi tidak hanya oleh spekulasi ritel, tetapi juga oleh faktor makroekonomi global dan adopsi korporasi besar. Kenaikan harga emas dan volatilitas pasar saham turut menjadi alasan aset digital ini semakin diminati sebagai alternatif investasi.
Peran Halving dalam Harga Bitcoin
Siklus halving Bitcoin yang terjadi setiap empat tahun kini tidak lagi menjadi pemicu utama kenaikan harga seperti masa lalu. Menurut analis dari VanEck dan 21Shares, halving tetap penting secara simbolis, namun pengaruhnya terhadap harga semakin berkurang.
Emisi Bitcoin tahunan kini di bawah satu persen, lebih rendah daripada inflasi emas, sehingga efek halving berpotensi lebih kecil di masa depan. Hal ini ditandai dengan semakin stabilnya modal yang masuk dari ETF, perusahaan besar, dan pemerintah yang menyerap koin lebih banyak daripada yang ditambang.
Stabilitas dan Volatilitas yang Menurun
Volatilitas Bitcoin mulai menunjukkan tren penurunan. Koreksi maksimum saat ini sekitar 30 persen, jauh lebih kecil dibandingkan 60 persen pada siklus awal Bitcoin. Kondisi ini menunjukkan Bitcoin mulai berperilaku layaknya aset keuangan matang dan semakin mendekati peran sebagai "emas digital."
Investor institusional semakin aktif menempatkan dana besar ke Bitcoin. Contohnya, perusahaan Strategy memiliki lebih dari 671 ribu koin dengan nilai sekitar US$58,9 miliar atau Rp983 triliun. Beberapa perusahaan besar lain seperti Tesla dan Trump Media & Technology Group juga sudah menginvestasikan dana miliaran dolar ke aset ini.
Dominasi ETF dan Pengaruhnya
ETF Bitcoin kini menguasai sekitar 7 persen dari total pasokan koin yang beredar. Layanan investasi besar seperti Morgan Stanley mendukung peningkatan alokasi dana ke Bitcoin, sekaligus memperkuat posisinya sebagai aset lindung nilai dari ketidakpastian ekonomi.
Data menunjukkan emas naik 71 persen tahun ini sebagai aset lindung nilai lebih stabil, sementara indeks S&P 500 hanya tumbuh 16 persen. Bitcoin memiliki potensi serupa, namun masih menghadapi risiko volatilitas dan sentrum kepemilikan yang meningkat akibat aktivitas institusional.
Risiko dan Tantangan Bitcoin
Meskipun semakin matang, Bitcoin menghadapi risiko signifikan. Konsentrasi kepemilikan bisa memperbesar dampak volatilitas besar. Selain itu, aktivitas penambangan mulai bergeser ke sektor lain seperti AI yang menyerap listrik, sehingga kapasitas penambangan berkurang.
Dalam krisis inflasi global 2022, Bitcoin malah terperosok hingga 77 persen, jauh lebih buruk dibandingkan emas yang turun "hanya" 20 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa sebagai aset lindung nilai, Bitcoin masih dalam tahap pembuktian.
Strategi Investasi Bitcoin Menjelang 2026
Untuk investor jangka panjang, Bitcoin tetap menjadi alternatif investasi yang menarik. Alokasi antara 5 persen hingga 10 persen dari portofolio dapat dipertimbangkan, terutama bagi yang siap menghadapi volatilitas tinggi.
Investasi dapat ditambah saat harga mengalami penurunan, tetapi risiko tetap harus diperhitungkan secara matang. Selain Bitcoin, investor juga dianjurkan memperhatikan peluang di sektor teknologi AS yang tengah berkembang pesat, khususnya infrastruktur dan AI, dengan investasi mencapai lebih dari US$1,5 triliun atau sekitar Rp25.050 triliun.
Bitcoin tetap memiliki daya tarik khusus sebagai aset alternatif jangka panjang. Namun, keputusan membeli atau menjual harus mempertimbangkan perubahan fundamental pasar dan peluang investasi lain yang potensial berkembang sebelum 2026.
