Banjir Asia 2025: Mengapa Begitu Dahsyat? Analisis Ahli Iklim dan Faktor Penyebabnya

Bencana banjir besar melanda Asia Selatan dan Tenggara pada akhir 2025, menewaskan lebih dari 1.250 orang. Wilayah yang terdampak termasuk Indonesia, Sri Lanka, dan Thailand, dengan puluhan ribu jiwa mengungsi akibat hujan deras dan badai tropis.

Tiga badai besar yang berlangsung bersamaan memperparah kondisi. Topan Koto melanda Filipina, Siklon Senyar menghantam Sumatra Utara, dan Siklon Ditwah menyapu Sri Lanka. Ketiganya memicu hujan ekstrem dan banjir bandang yang meluas.

Para ahli iklim menyebutkan kombinasi badai ini adalah fenomena langka namun berbahaya. Steve Turton dari Central Queensland University menjelaskan, “Perubahan iklim menyebabkan badai tropis membawa lebih banyak air dari biasanya.” Intensitas hujan meningkat akibat suhu permukaan laut yang lebih hangat.

Roxy Matthew Koll dari Institut Meteorologi Tropis India menambahkan, atmosfer yang lebih panas mampu menahan dan melepaskan kelembapan secara lebih intens. Hal ini memicu terbentuknya ‘pita hujan’ yang sangat kuat di sekitar siklon. Fenomena La Nina juga memperburuk situasi dengan meningkatkan kelembapan di wilayah Asia.

Sebuah studi terbaru dari Grantham Institute menunjukkan bahwa perubahan iklim meningkatkan intensitas hujan Topan Fung-wong bulan lalu sebesar 10,5 persen. Ini membuktikan dampak nyata pemanasan global terhadap bencana hidrometeorologi.

Indonesia menghadapi masalah tambahan selain curah hujan tinggi. Febi Dwirahmadi dari Universitas Griffith mengingatkan bahwa deforestasi dan perubahan penggunaan lahan memperburuk risiko banjir. “Penebangan liar membuat tanah kehilangan kemampuannya menyerap air,” jelasnya.

Menurut laporan dari lokasi, bencana tanah longsor melanda hampir semua desa di kawasan terdampak Sumatera Utara. Kondisi ini berbeda dari bencana sebelumnya yang hanya menyerang sebagian area tertentu. Dampak kerusakan pun luar biasa dengan rumah-rumah tertimbun lumpur dan ribuan warga kehilangan tempat tinggal.

Presiden Indonesia Prabowo Subianto menegaskan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi perubahan iklim. Ia mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat sistem mitigasi dan siaga bencana. Namun demikian, kritik terhadap respons global makin menguat.

Aktivis iklim seperti Shweta Narayan menyoroti ketidaksiapan dunia pasca COP30 yang tidak menghasilkan pendanaan hibah memadai. “Kesenjangan antara realitas dan kebijakan disengaja sangat berbahaya bagi masyarakat,” katanya. Harjeet Singh menuntut negara maju memberikan dana berbasis hibah sebagai kompensasi atas kontribusi emisi fosil.

Tekanan hukum di tingkat internasional juga meningkat. Mahkamah Internasional baru-baru ini menguatkan kewajiban negara-negara untuk bertindak melawan krisis iklim. Selain itu, kasus gugatan terhadap perusahaan minyak raksasa seperti Shell menunjukkan tuntutan pertanggungjawaban kepada pelaku emisi.

Banjir dan longsor tahun 2025 ini mengingatkan dunia bahwa bencana akibat perubahan iklim tidak lagi dapat dianggap insiden biasa. Alexander Matheou dari Federasi Palang Merah Internasional menyatakan, “Kejadian ini menjadi pengingat keras akan urgensi aksi global.”

Pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat sipil harus bersinergi memahami dan mengatasi faktor penyebab. Adaptasi serta mitigasi iklim menjadi kunci melindungi ribuan jiwa dan infrastruktur. Kesiapan terhadap bencana hidrometeorologi perlu menjadi prioritas setiap negara di kawasan rawan bencana ini.

Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com
Exit mobile version