Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai kasus dugaan korupsi yang menjerat Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya memperlihatkan lemahnya mekanisme rekrutmen dalam partai politik (parpol). Hal ini disampaikan Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, yang menyoroti masalah integrasi rekrutmen dengan kaderisasi yang selama ini belum berjalan optimal.
Menurut Budi, permasalahan tersebut memicu praktik mahar politik dan tingginya perpindahan kader antarparpol. Kandidasi yang hanya mengandalkan kekuatan finansial dan popularitas juga dianggap menjadi faktor utama. Lewat kasus ini, KPK ingin menyoroti risiko besar yang dihadapi sistem demokrasi dan tata kelola partai politik di Indonesia.
Tingginya Biaya Politik dan Dampaknya
Budi juga menyoroti adanya dugaan penerimaan uang Rp 5,25 miliar oleh Ardito Wijaya yang digunakan untuk melunasi pinjaman kampanye Pilkada 2024. Besarnya biaya politik saat ini menjadi faktor pendorong praktik korupsi oleh kepala daerah terpilih. Beban pengembalian modal politik yang tinggi terkadang membuat pejabat publik terjerumus ke cara-cara ilegal.
Anggaran besar untuk kampanye hingga operasional parpol menyebabkan kebutuhan dana untuk pemenangan politik semakin tinggi. Hal tersebut sering kali tidak diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan partai.
Hipotesis Tata Kelola Parpol oleh KPK
Dalam kajian tata kelola parpol yang masih berlangsung, KPK mengonfirmasi beberapa hipotesis penting. Pertama, beban kebutuhan finansial untuk menjalankan fungsi partai seperti memenangkan pemilu, biaya operasional, hingga musyawarah partai sangat tinggi. Kedua, laporan keuangan parpol belum sepenuhnya akuntabel dan transparan sehingga rawan penyalahgunaan dana.
Budi menegaskan, “KPK mendorong pentingnya standardisasi sistem pelaporan keuangan parpol agar mampu mencegah adanya aliran uang yang tidak sah.” Ini menjadi salah satu kunci untuk memperbaiki tata kelola dan mencegah praktik korupsi pada level partai politik.
Proses Kajian dan Penanganan Kasus
KPK masih melanjutkan kajian mendalam untuk menguatkan data dan rekomendasi perubahan terkait tata kelola parpol. Hasil kajian ini akan diserahkan kepada pemangku kepentingan sebagai bahan pencegahan korupsi ke depan. KPK berharap langkah ini dapat mengurangi potensi praktik korupsi dalam proses politik dan pemerintahan.
Sebelumnya, pada 11 Desember 2025, KPK menetapkan Ardito Wijaya sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan hadiah dan janji terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah tahun anggaran 2025. KPK menduga Ardito menerima total Rp 5,75 miliar dan menggunakan sebagian besar dana tersebut untuk membayar utang kampanye.
Menguatkan Rekrutmen Parpol
Kasus ini sekaligus menjadi refleksi penting soal cara partai politik merekrut dan mengkader calon pemimpin daerah. Meningkatkan proses rekrutmen yang transparan dan berbasis integritas mutlak diperlukan. Upaya memperbaiki manajemen keuangan dan pengawasan internal parpol juga harus diprioritaskan untuk memutus mata rantai politik uang dan korupsi.
Berikut faktor yang menyebabkan lemahnya rekrutmen parpol menurut KPK:
- Integrasi rekrutmen dan kaderisasi yang belum berjalan baik.
- Praktik mahar politik yang masih marak.
- Kader sering berpindah antar parpol demi keuntungan politik.
- Kandidasi yang mengandalkan finansial dan popularitas semata.
- Ketidaktransparanan laporan keuangan dan kurangnya akuntabilitas.
Upaya reformasi di bidang ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan di Indonesia. Kasus Bupati Lampung Tengah merupakan gambaran nyata pentingnya perbaikan mendasar dalam rekrutmen politik dan sistem pengelolaan dana kampanye. KPK terus mendorong langkah-langkah strategis yang dapat menciptakan partai politik yang bersih dan berintegritas demi masa depan bangsa.
Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com