Curah hujan tinggi di Pantura Jawa Tengah menyebabkan produksi garam rakyat merosot tajam. Dampak cuaca ini dirasakan khususnya di daerah Jepara, Pati, dan Rembang, membuat petani kesulitan memproduksi garam karena kurangnya terik matahari dan melimpahnya air tawar di saluran tambak.
Produksi garam yang menurun drastis sejak November 2024 berdampak pada melonjaknya harga garam krosok di tingkat petani hingga lebih dari 100 persen. Namun, kenaikan harga ini tidak berdampak positif bagi petani karena hasil produksi mereka sangat terbatas selama musim penghujan.
Penurunan Produksi Akibat Curah Hujan Tinggi
Petani garam tidak bisa mengolah garam dengan baik akibat hujan terus-menerus dan air laut yang bercampur air tawar. Hidayat, petani garam di Batangan, Kabupaten Pati, mengatakan bahwa ladangnya berhenti produksi karena sinar matahari sangat minim dan saluran tambak banyak yang terisi air tawar.
Sama halnya dengan Wiyarso, petani di Lasem, Kabupaten Rembang, yang menuturkan telah berhenti memproduksi garam sejak November karena air laut yang masuk ke ladang tidak dapat mengkristal. Kondisi ini membuat produksi garam semakin berkurang bahkan pada bulan Desember.
Dampak Harga Melonjak dan Kepemilikan Stok
Nasir, petani garam di Kabupaten Jepara, menjelaskan bahwa harga garam melonjak tajam sejak November. Namun, kenaikan harga tersebut lebih dinikmati pemilik gudang yang masih memiliki stok garam, sementara petani mengalami kekosongan hasil produksi bahkan stok dari bulan sebelumnya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati, Hadi Santoso, mengonfirmasi bahwa produksi garam merosot tajam akibat curah hujan tinggi sejak November. Harga garam di tingkat petani naik dari Rp1.200 menjadi Rp2.600 per kilogram sesuai data terbaru.
Menurut data pemerintah daerah, produksi garam di Kabupaten Pati hanya mencapai 93 ribu ton pada tahun ini. Hal ini jauh menurun dibandingkan tahun 2024 yang tercatat 324 ribu ton. Penurunan ini juga disebabkan berkurangnya area tambak garam karena banyak petani beralih ke tambak ikan.
Strategi Menghadapi Penurunan Produksi
Pemerintah daerah mencoba mengatasi masalah ini dengan fokus meningkatkan kualitas garam. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang, M. Sofyan Cholid, menyampaikan bahwa saat ini petani dilatih menggunakan metode geomembran dan teknik tradisional.
Penggunaan teknologi tersebut diharapkan mampu meningkatkan kapasitas produksi begitu musim kemarau kembali datang. Peningkatan keterampilan produksi garam diharapkan membantu petani mengoptimalkan hasil panen meskipun kondisi cuaca tidak menentu.
Berikut ringkasan utama terkait situasi produksi garam di Pantura Jawa Tengah saat curah hujan tinggi:
- Penurunan produksi garam hingga lebih dari 70 persen sejak November 2024.
- Harga garam krosok naik lebih dari 100 persen di tingkat petani.
- Petani garam mengalami kesulitan produksi, produksi berhenti sementara selama musim hujan.
- Pemilik gudang garam mendapat keuntungan besar berkat stok yang masih cukup banyak.
- Peralihan lahan garam menjadi tambak ikan akibat tidak produktifnya ladang garam.
- Peningkatan kualitas melalui metode geomembran dan pelatihan tradisional untuk menghadapi tantangan produksi di masa mendatang.
Intensitas curah hujan yang tinggi menjadi faktor utama penurunan drastis produksi garam di Pantura Jawa Tengah. Ke depan, adaptasi metode produksi dan penguatan ketahanan petani garam diperlukan agar produksi kembali stabil dan petani dapat menikmati harga jual yang menguntungkan.
Baca selengkapnya di: mediaindonesia.com