Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah adanya intervensi dalam keputusan menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait izin pengelolaan tambang nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Penghentian penyidikan dilakukan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diterbitkan pada Desember 2024.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan bahwa penghentian itu semata-mata berdasarkan pertimbangan teknis, khususnya terkait kendala penghitungan kerugian negara yang tidak dapat dilakukan auditor secara memadai. Ia menjelaskan bahwa berbagai faktor hukum, termasuk daluwarsa pasal suap, turut menjadi alasan penghentian kasus ini.
Kendala Teknis dan Hukum dalam Penyidikan
KPK mengalami kesulitan dalam memperoleh alat bukti yang cukup untuk membuktikan pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dalam kasus ini. Selain itu, proses audit terkait kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 2,7 triliun belum rampung dengan hasil yang memadai. Tempus atau masa berlaku hukum perkara juga sudah melewati batas terkait pasal suap, yakni sejak tahun 2009.
“Kami harus memastikan proses hukum berjalan berdasarkan alat bukti dan ketentuan yang berlaku, termasuk memastikan kepastian hukum bagi semua pihak,” ujar Budi. Penegakan hukum harus menjunjung azas kepastian hukum, akuntabilitas, dan keterbukaan sesuai Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019.
Kritik atas Kewenangan SP3 KPK
Mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan, mengkritik kewenangan yang dimiliki KPK untuk menerbitkan SP3. Menurutnya, kewenangan ini membuka potensi intervensi dan membuat KPK rentan terhadap pengaruh eksternal dalam penyelesaian perkara. Novel menilai prosedur penghentian penyidikan melalui rapat tertutup kurang transparan dibandingkan dengan proses persidangan terbuka.
Menurut Novel, kewenangan SP3 juga berpotensi membuat KPK bersikap kurang hati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Ia menyarankan agar proses penanganan perkara korupsi, khususnya yang melibatkan sumber daya alam, dilakukan dengan mekanisme yang lebih terbuka dan akuntabel.
Peran Mantan Bupati Dalam Kasus
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, sebagai tersangka. Aswad diduga menerima suap sejumlah Rp 13 miliar dari pengusaha yang mengelola sedikitnya 17 perusahaan tambang nikel. Perizinan yang diberikan dinilai melanggar hukum sehingga merugikan keuangan negara dengan nilai besar.
Dampak dari dugaan korupsi ini tidak hanya merugikan aspek finansial, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Penanganan kasus ini menjadi perhatian publik karena terkait dengan pengelolaan sumber daya alam yang memiliki dampak masif bagi daerah dan masyarakat sekitar.
Pentingnya Kepastian Hukum dan Alat Bukti
KPK menegaskan bahwa penghentian penyidikan dilakukan demi memberikan kepastian hukum serta menjaga integritas lembaga dalam memberantas korupsi. Keputusan mengakhiri penyidikan ini dilihat sebagai upaya memenuhi azas-azas pelaksanaan tugas KPK, seperti keterbukaan, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Kendati demikian, isu intervensi dan transparansi penanganan kasus ini tetap menjadi sorotan. Masyarakat menantikan proses hukum yang jelas dan akuntabel agar kasus korupsi dalam sektor pertambangan tidak menyisakan keraguan dan tetap memberikan efek jera kepada pelaku.
KPK berkomitmen meneruskan usaha pemberantasan korupsi dengan prinsip profesionalisme dan independensi. Situasi ini menjadi pengingat pentingnya mekanisme yang kuat demi menjaga kepercayaan publik terhadap hukum dan institusi antikorupsi di Indonesia.
Baca selengkapnya di: www.suara.com