Toyota MR2 generasi ketiga yang dirilis pada 1999 dikenal dengan konfigurasi mesin tengah dan penggerak roda belakang, sehingga mendapat julukan “baby Ferrari.” Salah satu fitur uniknya adalah transmisi manual sekuensial (SMT) yang sebelumnya hanya ditemukan pada mobil sport kelas atas seperti Ferrari 360. Namun, alih-alih membuat akselerasi lebih cepat, transmisi ini justru membuat performa MR2 jadi lebih lambat.
Uji jalan pada masa itu menunjukkan akselerasi 0-60 mph MR2 dengan transmisi manual konvensional selesai dalam 7 detik. Sementara dengan SMT, waktu yang dibutuhkan bertambah 1,7 detik, dan catatan waktu di lintasan seperempat mil (quarter-mile) juga 1,2 detik lebih lambat. Hal ini menunjukkan bahwa fitur yang dikira akan mempercepat perpindahan gigi ternyata kurang efektif dalam meningkatkan kecepatan.
Teknologi Transmisi yang Mengutamakan Keandalan
Toyota merancang SMT dengan fokus pada daya tahan dan keandalan, bukan sekadar kecepatan perpindahan gigi. Perpindahan gigi, terutama percepatan (upshift), terasa lambat, namun perpindahan gigi mundur (downshift) lebih halus dan tanpa hentakan. Pengemudi dapat melakukan pergantian gigi menggunakan tombol di balik kemudi, bukan paddle shift seperti mobil modern lainnya, atau melalui tuas persneling konvensional di lantai mobil.
Uniknya, transmisi ini tidak memerlukan pedal kopling, karena menggantinya dengan aktuator hidrolik dan sensor yang mendeteksi keinginan pengemudi saat memindahkan gigi. Sistem ini mirip dengan Automated Manual Transmission (AMT) yang mengotomatisasi kopling, sehingga mengurangi beban pengemudi.
Kritik dan Masalah Keandalan SMT
Beberapa teknisi senior Toyota menilai SMT terlalu kompleks dan kurang dapat diandalkan. Awalnya, Toyota menghadirkan versi 5-percepatan, kemudian dikembangkan menjadi 6-percepatan yang dipercaya sedikit lebih baik dalam hal keandalan. Namun, masalah tetap muncul, seperti transmisi yang sulit masuk gigi, sensor tekanan yang bermasalah, serta pompa hidrolik yang tidak berfungsi optimal.
Keterbatasan ini diperparah karena SMT hanya diaplikasikan pada MR2, yang penjualannya terbatas dibanding produk populer Toyota lainnya. Akibatnya, teknisi yang menguasai perbaikan transmisi ini sangat sedikit, membuat perawatan menjadi lebih sulit dan mahal.
Inspirasi dari Dunia Balap yang Kurang Tepat
Transmisi sekuensial memang umum digunakan dalam balap atau reli untuk memudahkan perpindahan gigi secara cepat dan presisi. Namun, penerapan teknologi tersebut pada MR2 tidak memberikan hasil yang sesuai ekspektasi. Perpindahan gigi yang lambat dan masalah teknis membuat banyak pemilik kecewa dengan performa transmisi ini.
Berikut ringkasan masalah utama SMT Toyota MR2:
- Perpindahan gigi lebih lambat dibanding manual konvensional
- Reliability rendah dengan sering terjadi kerusakan sensor dan pompa hidrolik
- Kompleksitas tinggi sehingga sulit perawatan
- Hanya tersedia pada model MR2 dengan pasar relatif kecil
- Pilihan transmisi manual konvensional masih lebih disukai dan tersedia konversi aftermarket
Jika transmisi SMT pada MR2 bermasalah, pemilik masih memiliki opsi mengganti ke transmisi manual biasa. Beberapa perusahaan menawarkan kit konversi yang menggunakan suku cadang asli Toyota untuk memastikan keandalan mesin tetap terjaga.
Upaya Toyota menghadirkan teknologi balap ke dalam mobil jalan raya ini memang inovatif, namun kenyataannya kurang sukses dari sisi performa dan keandalan. Transmisi sekuensial di MR2 menjadi contoh bagaimana teknologi tingkat atas belum tentu cocok langsung diterapkan pada kendaraan harian.
