Upaya global untuk beralih ke energi terbarukan memang menunjukkan kemajuan, namun laju transisi ini masih tergolong lambat. Meski harga tenaga surya dan angin kini lebih murah daripada bahan bakar fosil, berbagai hambatan politik, pembiayaan, dan strategi nasional berbeda membuat prosesnya tidak secepat yang diharapkan.
Salah satu faktor utama adalah perizinan yang rumit dan panjang. Di Amerika Serikat, misalnya, proyek energi besar butuh waktu rata-rata 4,5 tahun hanya untuk memperoleh izin. Sedangkan pembangunan infrastruktur jaringan transmisi bisa memakan waktu lebih dari satu dekade, memperlambat realisasi penggunaan energi bersih secara luas.
Harga dan Pembiayaan Energi Terbarukan
Secara global, energi terbarukan kini menjadi opsi paling ekonomis karena tidak memerlukan bahan bakar. Data International Renewable Energy Agency (IRENA) menunjukkan bahwa sepanjang 2024 lebih dari 90% kapasitas listrik baru berasal dari energi bersih. Namun, proyek energi terbarukan di negara berkembang masih menghadapi biaya awal tinggi dan risiko finansial yang besar.
Pemberi pinjaman lebih memilih proyek berbahan bakar fosil karena memiliki jaminan dan struktur keuangan yang jelas. Sebaliknya, proyek energi bersih dianggap berisiko lebih tinggi sehingga bunga pinjaman juga menjadi lebih mahal. Kondisi ini membuat banyak negara berkembang cenderung mempertahankan penggunaan batubara dan gas untuk memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat.
Pengaruh Geopolitik dan Kebijakan Nasional
Strategi energi di negara-negara besar pun amat beragam dan terkadang bertentangan. Tiongkok, konsumen energi terbesar dunia, berinvestasi besar dalam energi terbarukan sekaligus memperluas pembangkit batubara untuk mengantisipasi lonjakan permintaan. Cina juga memimpin produksi panel surya dan baterai, menyumbang lebih dari 60% penambahan kapasitas terbarukan global pada 2024.
Amerika Serikat menunjukkan dinamika berbeda, di mana kebijakan energi berubah sesuai rezim pemerintahan. Setelah masuk kembali ke Perjanjian Paris di masa Biden, AS kembali melepas komitmen pada awal masa jabatan kedua Donald Trump pada 2025. Ketidakpastian kebijakan ini membuat investor ragu berinvestasi di teknologi rendah karbon.
Sementara itu, Eropa yang berkomitmen menuju netral karbon 2050, harus menghadapi tekanan akibat perang Rusia-Ukraina. Kenaikan harga energi dan ketergantungan pada pasokan gas Rusia membuat beberapa negara menunda target iklim mereka. Selain itu, Eropa juga bergantung pada impor energi dari AS dan teknologi hijau dari Tiongkok.
Kebutuhan Kolaborasi Internasional dan Kebijakan Stabil
Para ahli menekankan perlunya kerja sama global untuk mengatasi risiko investasi dan mempercepat transisi energi. Skema jaminan, asuransi, dan stabilitas kebijakan diharapkan dapat menurunkan biaya pinjaman untuk proyek energi bersih. Dengan mengurangi risiko, energi terbarukan menjadi lebih menarik secara ekonomi bagi negara berkembang.
Transisi menuju energi terbarukan bukan proses yang linier dan mudah. Meskipun kapasitas energi bersih terus bertambah dan biaya turun, tantangan politik, ekonomi, dan geopolitik masih membayangi. Namun, percepatan transisi menjadi krusial untuk menghindari dampak perubahan iklim yang semakin parah.
Memperkuat komitmen politik, mengharmonisasi kebijakan, dan meningkatkan kerja sama internasional adalah langkah penting yang harus dilakukan segera. Perubahan sistem energi global akan berlangsung lama, tetapi dimulai dari upaya berkelanjutan hari ini.
Baca selengkapnya di: www.suara.com