Google kini mempercepat penerapan fasilitas penyimpanan energi besar berbasis baterai CO2 yang mampu menyimpan hingga 200 megawatt-jam listrik. Teknologi ini dikembangkan oleh perusahaan Milan, Energy Dome, dan menawarkan solusi penyimpanan energi jangka panjang (LDES) untuk mengatasi tantangan utama dalam pemanfaatan energi terbarukan.
Baterai CO2 menyimpan energi dengan mengompresi gas karbon dioksida menggunakan kelebihan energi hijau. Saat dibutuhkan, gas tersebut didepresurisasi untuk memutar turbin listrik. Satu fasilitas baterai CO2 yang sudah penuh dapat menyediakan listrik untuk sekitar 6.000 rumah selama satu hari penuh.
Prinsip Kerja dan Manfaat Teknologi Baterai CO2
Sistem pengisian baterai memanfaatkan penyimpanan energi termal untuk mendinginkan dan mengubah CO2 menjadi bentuk cair dalam waktu sekitar sepuluh jam. Ketika melepas energi, CO2 diuapkan dan dipanaskan sehingga dapat memutar turbin penghasil listrik. Dengan cara ini, energi dari sumber terbarukan seperti tenaga surya yang melimpah di siang hari dapat digunakan saat permintaan puncak di malam hari.
Menurut Ainhoa Anda, pimpinan strategi energi Google, keunggulan utama teknologi ini adalah kemampuannya untuk “plug and play” dan standarisasi yang memudahkan penerapan di berbagai lokasi. Google berencana segera memasang fasilitas serupa di pusat data utama mereka di Eropa, Amerika Serikat, dan kawasan Asia-Pasifik.
Pengembangan dan Ekspansi Global
Energy Dome saat ini sedang menjalankan proyek percontohan di Sardinia, Italia, dengan lahan seluas lima hektar. Jika proyek ini sukses, pengembangan fasilitas akan meluas ke wilayah lain, termasuk Karnataka di India dan Wisconsin di Amerika Serikat yang tengah menyiapkan infrastruktur terkait.
Berikut adalah gambaran singkat mengenai rencana pengembangan baterai CO2:
- Pilot project di Sardinia, Italia, seluas 5 hektar
- Ekspansi fitur di Karnataka, India
- Pengembangan lanjutan di Wisconsin, AS
Keunggulan dan Tantangan Teknologinya
Teknologi baterai CO2 tidak memerlukan mineral khusus, rantai pasok suku cadang yang rumit, maupun perawatan intensif. Selain itu, China juga tengah mengembangkan teknologi serupa sebagai bagian dari upaya global mengadopsi penyimpanan energi terbarukan jangka panjang.
Namun, baterai CO2 memiliki footprint fisik yang lebih besar dibandingkan dengan penyimpanan berbasis lithium-ion. Risiko kebocoran yang dapat melepaskan ribuan ton CO2 ke atmosfer juga menjadi perhatian, meskipun menurut CEO Energy Dome Claudio Spadacini, potensi emisi kebocoran ini tetap jauh lebih kecil dibandingkan emisi dari pembangkit batu bara.
Google dan Energy Dome bersama-sama berharap bahwa solusi ini akan memberikan alternatif yang praktis dan efisien untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan energi terbarukan di masa depan. Dengan kapasitas besar dan kemampuan penyimpanan jangka panjang, baterai CO2 bisa menjadi kunci penting dalam transisi global menuju energi bersih dan berkelanjutan.
