Perusahaan percetakan 3D asal China kini unggul dalam inovasi dan harga di pasar global, melampaui perusahaan-perusahaan Amerika yang sebelumnya memimpin. Hal ini terjadi setelah beberapa dekade China belajar dan meniru teknologi dari Amerika, kemudian mengembangkan produknya dengan biaya produksi jauh lebih rendah. Misalnya, printer 3D Bambu Lab asal China mendapatkan popularitas besar di AS dengan harga lebih murah, namun menghadapi gugatan pelanggaran paten dari perusahaan Amerika Stratasys.
Stratasys menggugat Bambu Lab atas dugaan pelanggaran paten terkait fitur teknis seperti purge towers, platform pemanas, dan sensor bed mapping yang ada pada model populernya, termasuk X1C dan A1. Jika gugatan ini berhasil, Bambu Lab bisa dikenai denda hingga jutaan dolar, bahkan pabrikan ini berpotensi kehilangan pangsa pasar di AS. Meski begitu, kompetitor China terus berinovasi dan memperbaiki produk mereka, menjadikan persaingan semakin ketat dan dinamis.
Perilaku Konsumen yang Mengubah Pasar
Data dari FBI menunjukkan bahwa pencurian kekayaan intelektual merugikan ekonomi AS hingga $600 miliar per tahun. Namun, proses hukum atas pelanggaran paten sangat panjang dan sulit. Studi menunjukkan hanya 13% dari kasus paten yang berujung pada penghargaan kerugian, dengan rata-rata penyelesaian selama 2,4 tahun. Ini memberi ruang bagi perusahaan China untuk meniru, menjual produk murah, lalu memperbarui produksinya sebelum keputusan hukum ditegakkan.
Kondisi ini diperparah oleh perubahan sikap konsumen. Survei Michigan State University terhadap 13.000 responden di 17 negara menemukan 74% pernah membeli barang palsu secara online dalam setahun terakhir, sebagian besar sadar membeli produk tiruan. Faktor harga kini lebih dominan dibandingkan kebangsaan produk. Influencer teknologi di AS sendiri cenderung mempromosikan printer 3D buatan China karena harganya jauh lebih terjangkau, meskipun ada kontroversi soal orisinalitas.
Keunggulan dan Kekhawatiran dari Teknologi 3D Printing China
Perusahaan China seperti Anycubic, Bambu Lab, Elegoo, dan Qidi bukan sekadar “mengejar ketertinggalan”. Mereka sudah menjadi inovator utama dengan teknologi fitur otomatisasi canggih, sensor filament, dan pengoperasian yang sunyi dan stabil. Mesin-mesin tersebut mampu mencetak dengan ketepatan tinggi dan kecepatan yang sulit disaingi oleh produsen Amerika dan Eropa.
Misalnya, sebuah startup AS bernama SXTH Element berhasil meraup keuntungan besar dengan mengandalkan printer Bambu Lab untuk memproduksi komponen mobil. Ini menandakan bahwa produk-produk asal China telah merambah berbagai sektor manufaktur dan usaha kecil menengah dengan tingkat efisiensi yang tinggi.
Namun, ada kekhawatiran soal model bisnis tertutup. Banyak printer populer dari China menggunakan sistem tertutup yang memproses file cetak melalui server mereka, berbeda dengan era awal yang masih mengusung konsep open-source. Pendekatan ini mengurangi risiko pencurian teknologi tetapi juga membatasi transparansi dan inovasi kolaboratif yang dahulu menjadi ciri khas industri ini.
Inovasi vs Kepemilikan Masa Depan
Meski ada kekhawatiran mengenai pelanggaran paten dan model bisnis yang tidak sepenuhnya terbuka, kemajuan pesat teknologi percetakan 3D asal China tidak dapat diabaikan. Ini membuka peluang baru bagi para pembuat usaha kecil dan startup dengan alat yang lebih terjangkau dan berkinerja baik. Persaingan global yang ketat juga mendorong batasan teknologi semakin maju.
Namun, ada dilema bagi industri teknologi Amerika dan pengamat: apakah pendiri dan inovator awal 3D printing masih dapat mempertahankan posisi mereka, atau mereka akan tergantikan oleh pesaing yang lebih cepat beradaptasi dan murah biayanya? Pertanyaan ini terus menjadi perbincangan penting bagi masa depan manufaktur digital dan pengembangan kekayaan intelektual global.
