CEO IBM Khawatir Investasi Besar Data Center AI Berpotensi Rugi, Ini Alasannya

CEO IBM, Arvind Krishna, menyampaikan kekhawatiran serius terkait investasi besar-besaran pada pembangunan pusat data untuk kecerdasan buatan (AI). Ia menilai investasi ini sulit memberikan pengembalian finansial yang realistis meskipun ada gelombang euforia di sektor teknologi.

Krishna memaparkan perhitungan matematis berdasarkan biaya infrastruktur saat ini yang menunjukkan ketidakmampuan investasi tersebut untuk menutup biaya modal. Menurutnya, pembangunan pusat data berkapasitas satu gigawatt membutuhkan dana sekitar US$80 miliar atau sekitar Rp1.328 triliun.

Biaya Investasi AI Sangat Fantastis

Industri teknologi global menargetkan kapasitas pusat data hingga 100 gigawatt demi mendukung pengembangan kecerdasan buatan tingkat lanjut atau Artificial General Intelligence (AGI). Jika target itu tercapai, total biaya investasi bisa menyentuh US$8 triliun atau Rp132.800 triliun.

“Kebutuhan modal sebesar US$8 triliun menuntut laba sekitar US$800 miliar demi membayar bunga pinjaman,” kata Krishna dalam wawancara bersama Business Insider, Kamis (4/12/2025).

Analisis ini menekankan beban finansial yang sangat berat bagi perusahaan teknologi yang berambisi mengakselerasi pengembangan AI.

Depresiasi Infrastruktur AI Jadi Tantangan

Krishna juga menyoroti faktor depresiasi yang memperburuk kondisi investasi ini. Komponen utama pusat data AI, seperti chip AI, memiliki umur ekonomis sangat pendek, yakni sekitar lima tahun. Setelah periode tersebut, teknologi tersebut harus diganti untuk mempertahankan kinerja optimal.

Hal ini menjadikan aset pusat data AI terus menyusut nilainya dengan cepat. Kondisi ini semakin memperbesar tekanan pada pengembalian modal yang harus dicapai agar bisnis tetap berkelanjutan dan menguntungkan.

Perspektif Berbeda dari CEO OpenAI

Pendapat Krishna ini menantang optimisme CEO OpenAI, Sam Altman, yang mendorong penambahan kapasitas energi hingga 100 gigawatt per tahun sebagai kunci akselerasi AI. Krishna menilai strategi ini sebagai sebuah “harapan” atau mimpi, bukan perhitungan bisnis yang realistis.

Selain itu, Krishna juga meragukan kemampuan teknologi besar seperti Large Language Model (LLM) saat ini untuk berevolusi menjadi AGI tanpa penemuan teknologi baru. Ia memperkirakan peluang tercapainya AGI dalam kondisi tersebut sangat kecil, hanya antara 0 hingga 1 persen.

Pandangan Tokoh Teknologi Lain

Kekhawatiran tentang AGI bukan hanya dari Krishna. Pendiri Google Brain, Andrew Ng, pernah menyebut bahwa ekspektasi terhadap AGI “terlalu dibesar-besarkan.” Sedangkan Ilya Sutskever, ahli AI terkemuka, menilai era “scaling” — yakni memperbesar daya komputasi untuk meningkatkan kecerdasan — mungkin sudah mendekati akhir.

Pandangan ini menandakan bahwa banyak pakar teknologi mulai mempertanyakan jalan penaklukan AI tingkat lanjut melalui peningkatan kapasitas pusat data secara masif.

Optimisme Pada Penggunaan AI Praktis

Meski skeptis terhadap pencapaian AGI, Arvind Krishna tetap optimis terhadap manfaat praktis AI dalam ranah bisnis dan industri. Ia menilai teknologi saat ini sudah cukup untuk memberikan lonjakan produktivitas bernilai triliunan dolar.

Menurut Krishna, fokus yang lebih realistis pada aplikasi AI yang dapat mendukung aktivitas ekonomi dan operasional perusahaan jauh lebih berkelanjutan dibanding mengejar mimpi AGI yang memerlukan biaya tinggi dan risiko besar.

Ringkasan Data Finansial Investasi AI:

  1. Biaya pembangunan pusat data 1 GW: US$80 miliar (Rp1.328 triliun)
  2. Target kapasitas global AI: 100 GW
  3. Total investasi untuk 100 GW: US$8 triliun (Rp132.800 triliun)
  4. Beban laba minimum untuk bunga pinjaman: US$800 miliar
  5. Umur ekonomis chip AI: sekitar 5 tahun

Pandangan Arvind Krishna menyajikan pandangan penting bagi pelaku industri teknologi. Angka-angka dan analisisnya mengingatkan para investor dan pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan aspek finansial secara matang dalam mengembangkan infrastruktur AI, menghindari overestimasi euforia yang berpotensi berujung kerugian besar.

Baca selengkapnya di: teknologi.bisnis.com
Exit mobile version